Senin, 24 Desember 2012

Definisi Ekonomi Islam

M Akram Khan : “Islamic economics aims to study of human falah (well-being) achieved by organizing the resources of the earth on the basic of cooperation and participation”
Ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang kenahagiaan hidup manusia (human falah) yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya alam atas dasar gonto royong dan partisipasi

Prof. Dr. Muhammad Abdul Mannan (Islamic Economics, Theory and Practice) : “Islamic economics is social science which studies the economics problems of a people imbued with the values of Islam”
Ilmu Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam

Prof. Dr. M. Umer Chapra : “Islamic economics was defined as that branch of knowledge which helps realize human well-being through an allocation and distribution of scarce resources that is in conformity with Islamic teachings without unduly curbing individual freedom or creating continued macroeconomic and ecological imbalances”
Ekonomi Islam didefinisikan sebagai sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku ekonomi makro yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan

Prof. Dr. Khursyid Ahmad : “Islamic economics is a system effort to thy to understand the economics problem and man’s behavior in relation to that problem from an Islamic perspective”
Ilmu ekonomi Islam adalah sebuah usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi dan tingkah laku manusia secara relasional dalam perspektif Islam

Prof. Dr. Muhammad Najetullah ash-Shiddiqi : “Islamic economics is the Muslim thinker’s response to the economic challenge of their time. In this endeavour they were aided by the Qur’an and the sunnah as well as by reason and experience”
Ilmu ekonomi Islam adalah respon pemikir Muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu. dalam usaha keras ini mereka dibantu oleh Al-Quran dan sunnah, akal (ijtihad dan pengalaman)

Kamis, 20 Desember 2012

MLM Menurut Syariah Islam

 

MLM Menurut Syariah Islam


MLM belakangan ini semakin banyak muncul, perusahaan-perusahaan yang menjual produknya melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Karena itu, perlu dibahas hukumnya menurut syari’ah Islam.
Perlu dicatat, bahwa perusahaan money game yang berkedok MLM bukanlah termasuk MLM.

Pakar marketing Don Failla, membagi marketing menjadi tiga macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct selling (penjualan langsung ke konsumen), Ketiga, multi level marketing (pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan memposisikan pelanggan sekaligus sebagai tenaga pemasaran).

Kemunculan trend strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM). Hal ini disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja.

Sistem marketing MLM yang lahir pada tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.

Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaedah Fiqh, "Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha" (Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya).

Islam memahami bahwa perkembangan budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.

Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas.




Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur:

  1. Maysir (judi)
  2. Aniaya (zhulm)
  3. Gharar (penipuan)
  4. Haram
  5. Riba (bunga)
  6. Iktinaz atau Ihtikar
  7. Bathil

Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak haram dan tidak syubhat serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah di atas.

MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah.

Menurut Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.(Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)





Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah/Simsar.
(Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159).

Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini
(Fikih Sunnah, III, hlm 159).

Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik. Di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat), memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.

Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam membenarkan seseorang mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif dalam memperluas jaringan dan levelnya secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh mengatakan: “Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan dan pada kadar kesungguhan”.

Penghargaan kepada Up Line yang mengembangkan jaringan (level) di bawahnya (Down Line) dengan cara bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah) memang patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini selaras dengan sabda Rasulullah: "Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun" (hadist).

Intensif diberikan dengan merujuk skim ijarah. Intensif ditentukan oleh dua kriteria, yaitu dari segi prestasi penjualan produk dan dari sisi berapa berapa banyak down line yang dibina sehingga ikut menyukseskan kinerja.

Dalam hal menetapkan nilai insentif ini, ada tiga syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni: adil, terbuka dan berorientasi falah (keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus) seseorang (Upline) tidak boleh mengurangi hak orang lain di bawahnya (downline), sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif juga harus transparan diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan pembagian insentif (bonus), para anggota perlu diikutsertakan.

Dalam hal ini tetap dilakukan musyawarah, sehingga penetapan sistem bonus tidak sepihak. Selanjutnya, keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya bahwa dengan menjalankan bisnis itu, seseorang telah dianggap menjalankan ibadah (asalkan bisnisnya sesuai dengan syari’ah).
Dengan bisnis, seseorang juga telah membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur (bangga/sombong) dan kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan.

Selasa, 04 Desember 2012

HUKUM MAKELAR TANAH DAN PERMASALAHAN KOMISI



HUKUM MAKELAR TANAH DAN PERMASALAHAN KOMISI


Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung  resiko, dengan kata lain makelar ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar yang terpercaya tidak dituntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak sengaja.

Makelar tanah adalah perantara antara pemilik tanah dan pihak pembeli. Makelar tanah mendapatkan komisi sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik tanah. Namun pada kenyataan banyak terjadi praktik yang merugikan pihak penjual atau pembeli tanah. Masalah yang terjadi kalau Makelar tanah ingin mendapatkan hasil (baca: uang) sebanyak-banyaknya, sehingga sering terjadi kasus pendzhaliman/memberatkan baik terhadap pihak Penjual maupun Pembeli, dan kasus-kasus lain yang sering juga menimbulkan konflik. Menurut hukum Islam dalam masalah perdagangan seharusnya tidak menimbulkan konflik, memberatkan salah satu pihak atau penzhaliman, semua pihak harus ikhlas agar perdagangan tidak menimbulkan kemudharatan. 


Hukum makelar dalam Islam
 
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan.


Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29

Allah Swt berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29).
 

Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi syarat, yaitu:
  1. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan
  2. Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram.
Makelar dan Penjual harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. Sesuai dengan hadist Nabi:

اعطواالأجيراجره قبل ا ن يجف عرقه
Artinya : Berilah kepada pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya (Hadist riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Uma, Abu Ya’la dari Abu Hurairah dan Al thabrani dari Anas).

Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1

Allah Swt berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.(Qs. Al-Maidah :1)


Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak makelar.

Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:

  1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli.
  2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.


Apakah Upah Calo Boleh Dalam Bentuk Prosentasi ?


Mayoritas ulama menyatakan bahwa upah calo harus jelas nominalnya, seperti Rp. 500.000,- atau Rp. 1.000.000,- dan tidak boleh dalam bentuk prosentasi, seperti dapat 10 % dari hasil penjualan.

Alasan mereka, bahwa upah calo masuk dalam katagori Ju’alah, dan syarat Ju’alah harus jelas hadiah atau upahnya. Hal ini berdasarkan hadist Abu Sa’id al-Khudri yang menyatakan :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya“ (HR. Ahmad)


 Analisis Kasus


Perhitungan komisi yang diajukan makelar tanah di Indonesia minimal adalah sebesar 2,5% dari nilai tanah, nilai 2,5% ini belum jelas berdasarkan apa karena tidak ada hukum perdagangan dalam Islam yg menyebutkan secara riil nilai 2,5% tersebut, jadi tidak ada aturan minimal komisi dari penjualan tanah adalah sebesar 2,5%. Nilai tersebut kemungkinan besar hanya karena "kebiasaan" yang dilakukan sejak dulu dan turun temurun sehingga sudah menjadi "standar" di masyarakat.

Salah satu contoh kasus adalah sebagai berikut,

Seorang pemilik tanah karena suatu kebutuhan mendesak (misal karena anggota keluarga sakit) harus menjual tanah secepatnya (misal dengan nilai total tanah sebesar Rp. 250.000.000,-), dia menghubungi makelar dengan harapan agar dibantu dalam penjualan tanah miliknya, si makelar meminta komisi 2,5% yang tidak dapat ditawar karena menurut dalih si Makelar nilai 2,5% tersebut sudah merupakan "standar" di Masyarakat, si penjual tanah tidak bisa menawar lagi dan dengan "terpaksa" menyepakati nilai tersebut. Nilai 2,5 % dari contoh kasus ini adalah sebesar Rp. 6.250.000,-.

Yang jadi masalah jika jumlah tersebut ternyata terlalu besar dan sangat berarti bagi si Penjual, namun si Penjual tidak berdaya karena nilai "2,5%" itu sudah menjadi "Standar" dalam dunia percaloan Tanah. Dengan arti lain "keikhlasan" si penjual tanah dalam kasus ini pun dapat dipertanyakan meskipun telah terjadi kesepakatan,  padahal ikhlas itu sangat penting dalam urusan Syariat.

Kesepakatan yang terjadi pun merupakan "keterpaksaan", baik disadari atau tidak, karena bisa dipastikan semua makelar tanah pasti akan mengajukan komisi dengan nilai minimal 2,5%, sedangkan si penjual dalam kasus ini sangat butuh untuk tanah miliknya segera terjual.

Dapat dilihat dari kasus tersebut ternyata komisi dengan nilai minimal sebesar 2,5% itu memberatkan pihak penjual atau dengan kata lain ada unsur menzhalimi penjual, tetapi karena ada "peraturan" minimal 2,5% tersebut maka pihak penjual tidak dapat berbuat banyak.

Oleh sebab itu, dalam hal pemakelaran lebih baik komisi disepakati atas kesanggupan penjual tanah, bukan berdasarkan prosentasi (%). Pihak penjual pun niscaya akan lebih ikhlas dalam memberikan komisi kepada pihak Perantara/Makelar. Karena dalam perdagangan tidak boleh terjadi ketidak-ikhlasan pada suatu pihak walau sedikit pun.
  

Analisa Komparasi Dengan Beberapa Jenis Percaloan Lain


1. Makelar Kendaraan

Biasanya pada bisnis percaloan kendaraan, si makelar mendapatkan komisi bukan atas prosentase, tetapi berdasarkan jumlah uang yang disepakati. Selain itu makelar kendaraan juga dapat mendaatkan keuntungan dengan melebihi harga kendaraan yang dijual dengan sepengetahuan pemilik mobil. Antara pihak penjual dan makelar dalam hal ini sama-sama tidak ada yg diberatkan/dizhalimi.

2. Salesman / Sales Agent

Sales suatu barang atau jasa akan mendapatkan prosentase dari hasil penjualan. Tetapi pihak produsen/distributor/penyedia jasa tentunya telah menghitung nilai prosentase komisi yang diberikan kepada pihak Sales sesuai dengan estimasi keuntungan yang di dapat. Dalam hal ini Pihak Produsen/Distributor dan Sales tidak ada yang diberatkan/dizhalimi, karena pihak Produsen/Distributor pasti telah menghitung keuntungan yang diperoleh dan pihak Sales mendapatkan hasil berupa komisi.

3. Pedagang

Definisi pedagang secara umum berbeda dengan Makelar, meskipun kenyataannya cara kerja dan definisinya bisa juga masuk dalam istilah Makelar. Pedagang biasanya mendapatkan Komisi (dalam hal ini keuntungan) dengan melebihkan nilai barang yang dijual, produsen/distributor jelas telah mendapatkan keuntungan dari setiap barang yang terjual, sehingga pihak produsen/distributor maupun pihak Pedagang/Penjual tidak ada yang diberatkan/dizhalimi


Wallahu A’lam