Selasa, 30 April 2013

Ijtihad Ekonomi Islam

Sudah beberapa kali dalam beberapa diskusi tentang kecenderungan operasional dan produk perbankan syariah yang semakin jauh dari jati diri ekonomi Islam, kita harus berhadapan dengan argumentasi klasik “ijtihad itu meskipun salah tetap akan mendapat satu kebaikan”. Argumentasi ini seakan dijadikan alasan ampuh bagi mereka yang bersemangat melakukan terobosan-terobosan operasional dan produk perbankan syariah. Padahal terobosan yang dilakukan terkesan mengabaikan kemashlahatan system.

Tetapi dengan kecenderungan perkembangan bentuk aplikasi khususnya produk perbankan syariah yang semakin identik dengan produk perbankan konvensional. Tentu argumentasi dasar ijtihad tadi menjadi “mengganggu”, entah ada yang salah dalam penggunaannya atau karena banyak yang belum begitu dalam pemahaman dari maksud sesungguhnya dari dalil itu. Karena itu pulalah, kita jadi tertarik untuk mengetahui lebih dalam makna dalil itu serta bagaimana sepatutnya dalil itu digunakan.

Pertama kali yang tentu perlu diketahui adalah makna kata dari ijtihad. Dari beberapa literature disebutkan bahwa ijtihad akar katanya memiliki tiga huruf (jahada) yang dalam bentuk masdarnya menjadi jahdun dan juhdun. Ulama ada yang berpendapat keduanya memiliki makna yang sama yaitu kemampuan, tetapi ada pula ulama yang mengartikan berbeda, yaitu al jahd itu sebagai “mengerahkan segala kemampuan” dan al juhd sebagai “kesulitan”.

Tetapi jika di teliti lebih jauh sebenarnya pembagian makna al jahd dan al juhd ini memiliki kesamaan maksud, dimana keduanya dapat dikatakan saling melengkapi. Dengan demikian dapat dikatakan kedua akar kata itu menghimpun makna; mengerahkan segala kemampuan dalam menghadapi kesulitan. Tidak heran jika seorang ulama bernama Raghib Al Isfahani mendefinisikan kata ijtihad dengan menggabungkan makna dua akar kata diatas yang memiliki inti substansi yang sama; ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh yang mengerahkan segala kemampuan dengan menanggung semua kesulitan yang ada di dalamnya.

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa ranah dan penggunaan ijtihad menyebar diberbagai aspek kehidupan, seperti politik, hukum, social-budaya dan juga ekonomi. Khusus untuk ekonomi (Islam), ijtihad harus diakui memiliki peran yang sangat krusial. Dengan perkembangan ekonomi yang semakin kompleks, sofistikasi produk dan transaksi, dimana perkembangan dan sofistikasi tersebut secara teknis tidak sama dengan apa yang dilakukan pada masa Nabi dan Sahabat, maka hal ini membuat ijtihad menjadi satu kebutuhan yang sangat penting. Posisi ijtihad juga menjadi sentral. Oleh sebab itu, ketepatan melakukan dan kebenarannya hasil menjadi satu hal yang juga krusial.

Dengan perkembangan mutakhir dari ekonomi khususnya di sector keuangan syariah, peran ijtihad menjadi semakin sentral. Karena hampir disetiap pengembangan keuangan syariah, baik itu operasional maupun produk, selalu bersentuhan dan di-back up dengan ijtihad. Ijtihadlah yang menjadi factor yang sangat menentukan untuk menjaga orisinalitas praktek keuangan syariah agar aplikasinya selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam. Ijtihad yang benar, tentu mampu memelihara karakteristik unik keuangan syariah. Terlebih lagi, ketika saat ini keuangan syariah dipraktekkan berdampingan dengan keuangan konvensional dan pelakunya mayoritas masih berlatar belakang pendidikan (pengetahuan, keahlian dan pola pikir konvensional.

Atas alasan ini, kita biasanya menilai ijtihad menjadi sangat penting untuk diketahui nature-nya, seperti kapan secara tepat melakukannya, bagaimana menggunakannya, proses mendapatkannya, atau siapa yang patut melakukannya. Dalam pengembangan system keuangan syariah, ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ketika memang tidak ditemukan dalil pelarangan dari suatu muamalah, yang perlu diyakinkan apakah memang tidak ada dalil yang melarang atau pengetahuan yang terbatas sehingga tidak mampu memahami subtansi masalah sehingga akhirnya sampai pada proses ijtihad yang berkesimpulan “boleh”.

Berbeda dengan ijtihad menentukan kehalalan suatu makanan, ijtihad praktek keuangan syariah memiliki alat control dalam menilai ketepatan ijtihad tersebut. Apa alat kontrolnya? Yang kita yakini, alat control utamanya adalah implikasi praktek tersebut. Implikasi ekonomi tentu mudah diketahui menggunakan logika sebab-akibat. Praktek keuangan syariah adalah bagian dari ekonomi yang memang pada dasarnya adalah alur transmisi sebab-akibat. Sehingga kebenaran dan ketepatan ijtihad menjadi relative mudah dikenali atau setidaknya memiliki banyak alat ukurnya. Oleh karenanya, ditengah kondisi pengetahuan ekonomi dan fikih yang belum melebur secara baik di diri seorang pakar atau ulama saat ini, maka ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah, sepatutnya dilakukan secara kolektif oleh dua pemegang disiplin ilmu tersebut.

Nah, berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa hal krusial yang menurut kita menjadi penting untuk dipahami. Ketika kaidah muamalah Islam (termasuk didalamnya keuangan syariah) menyebutkan bahwa “pada dasarnya semua muamalah itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, maka dalam muamalah Islam pertanyaan yang relevan terhadap suatu aktifitas ekonomi apakah ia boleh atau tidak boleh adalah “apakah ada dalil yang melarang”. Berbeda dengan ibadah, dimana pertanyaan yang relevan adalah “apakah ada dalil yang membolehkan”, mengingat muamalah dan ibadah memiliki dua kaidah yang bertolak belakang.

Oleh sebab itu, maka mengklasifikasikan sebuah praktek muamalah itu boleh atau tidak boleh (sekali lagi) sangat ditentukan oleh kedalaman pemahaman dan pengetahuan seseorang (yang diamanahi tugas mengeluarkan fatwa/berijtihad) terhadap dalil-dalil pelarangan bermuamalah. Ketika pengetahuan dan pemahamannya tidak begitu luas dan dalam, maka boleh jadi seseorang akan overlook dalam mengambil kesimpulan atas sebuah masalah. Dan kita meyakini bahwa hal terpenting dari pengetahuan dan pemahaman yang dalam itu adalah sebuah hasil analisa atau kesimpulan yang berdasar pada pemahaman utuh atau pengetahuan substansi/esensi/hakikat masalah.

Selain itu, ijtihad yang dilakukan seseorang untuk kepentingan pribadi dirinya mungkin tidak akan menjadi masalah yang terlalu krusial dibandingkan ijtihad yang ditujukan untuk kepentingan umum, kepentingan masyarakat luas. Oleh sebab itu ijtihad dibidang keuangan (termasuk ekonomi) syariah harus disikapi dengan berhati-hati, dengan sensitifitas yang tinggi, mengingat ijtihad (yang berakhir pada perumusan fatwa) dibidang itu mempertaruhkan kepentingan umum. Kaidah bahwa “ijtihad itu meskipun salah tetap akan mendapat satu kebaikan” tidak dapat dengan serampangan dipakai dengan konotasi menganggap ringan semua masalah. Kaidah ini tidak bisa dengan seenaknya dijadikan dalih untuk mengeluarkan fatwa tanpa perhitungan yang matang, tanpa landasan yang kuat.

Ingat!!! Dalam praktek keuangan syariah, ijtihad yang salah dan berakhir pada fatwa yang keliru akan berimplikasi pada kerusakan system keuangan bahkan kekacauan ekonomi yang berakibat buruk bagi banyak orang. Tidak cukup hanya mengatakan bahwa kalau ijtihadnya keliru, maka ada satu kebaikan yang diberikan oleh Allah SWT. Ijtihad harus dilakukan dalam ruang usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal, sesuai dengan definisi ijtihad itu sendiri.

Ditengah kondisi wujudnya dikotomi pengetahuan fikih dan praktek keuangan (karena keilmuan keuangan syariah relative baru, sehingga memang ahli fikih masih terbatas pengetahuannya pada aspek ekonomi/keuangan dan praktisi keuangan belum memiliki pengetahuan fikih dengan baik), maka menjadi sangat wajar apabila sebuah ijtihad dalam rangka mendapatkan fatwa, mempertimbangkan dua sudut pandang pengetahuan tadi.

Artinya ijtihad harus dilakukan bersama, fatwa harus mendengarkan dan mempertimbangkan kedua sudut pandang, baik alasan fikih maupun alasan keuangan termasuk ekonomi, agar mendapatkan gambaran utuh dan menyeluruh terhadap suatu masalah. Bagaimana bisa menerima ijtihad yang berasal dari seseorang yang tidak mengetahui dengan benar masalah yang menjadi objek ijtihadnya. Apalagi dalam bidang keuangan syariah atau perbankan syariah. Ijtihad terhadap produk keuangan/perbankan syariah, haruslah didasari atas pemahaman mendalam terhadap produk tersebut, memahami mekanismenya juga implikasi-implikasinya.


Jika hanya mengakomodasi satu pihak saja tentu akan misleading dalam menyimpulkan sebuah permasalahan yang tengah diijtihadkan. Apalagi dalam ranah fikih, pada perkembangannya terdapat kekayaan pendapat, sampai-sampai sudah ada anggapan bahwa fikih menyediakan semua dalil dari halal sampai haram untuk satu jenis aktifitas tertentu. Kondisi seperti itu membuat praktek keuangan syariah memiliki risiko yang sangat besar dalam ketidaktepatan memilih dalil. Sehingga, dalam proses ijtihad dalam rangka mendapatkan fatwa, ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah membutuhkan alat bantu lain atau alat control agar pemilihan dalil betul-betul tepat dan benar. Dan sejauh ini, kita masih meyakini alat bantu atau control yang relevan adalah pengetahuan ekonomi atau keuangan.

Dilain pihak, Jangan sampai pula ketidak-tahuan atau ketidak-dalaman pengetahuan pada Qur’an dan Sunnah khususnya pada prinsip-prinsip pelarangan muamalah atau wawasan yang lain, menjadikan ijtihad sebagai dalih untuk membenarkan apa-apa yang substansinya dilarang oleh Islam. Padahal dalil pelarangannya sudah ada dan jelas, namun karena ketidaktahuan saja membuat seseorang melakukan ijtihad. Bayangkan apa akibatnya satu ijtihad yang hanya berdasar pada pengetahuan yang terbatas. Terlebih lagi di ranah ekonomi.

Betul bahwa kaidah fiqih muamalah “dalam muamalah semua itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, memang akan membuat pelaku muamalah memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam berkreasi muamalah. Namun sebelumnya haruslah setiap orang yang memiliki amanah mengeluarkan fatwa, menjaga kedalaman pemahaman agar kreasi muamalah betul-betul berlandaskan pada pengetahuan yang cukup.

Jangan sampai kaidah tersebut tidak membuat pelaku buta matanya terhadap hakikat-hakikat transaksi. Atau malah dijadikan alat untuk seenaknya melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa. Kehati-hatian menjadi penting, ingat banyak orang yang kemashlahatannya bergantung pada fatwa tersebut. Ketidak tahuan atau pengetahuan yang tidak mendalam pada dalil-dalil pelarangan bentuk-bentuk transaksi dapat saja membuat pelaku terjebak pada transaksi sejenis itu. Oleh sebab itu, sikap kehati-hatian, meluaskan sudut pandang, melibatkan banyak perspektif sepatutnya menjadi upaya mitigasi dalam rangka mendapatkan hasil ijtihad yang maksimal, hasil yang sejalan dengan semangat ekonomi Islam, hasil yang penuh berkah dan kebaikan-kebaikan.

Dan terlepas dari itu semua, ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah juga sangat dipengaruhi oleh tingkat interaksi, sensitifitas social, tingkat kesadaran dan pengetahuan para pihak-pihak dalam sebuah komunitas ekonomi, seperti otoritas fatwa, otoritas industry, akademisi dan masyarakat itu sendiri. Kalaupun akhirnya semua upaya telah dilakukan secara maksimal dalam mendapatkan sebuah fatwa dari ijtihad ekonomi, dan ternyata hal itu mengandung kelemahan-kelemahan, boleh jadi fatwa tersebut merepresentasikan kualitas komunitas ekonomi tersebut. Kalau sudah seperti itu, kita berharap Tuhan segera memberikan hidayah, petunjuk dan pengetahuan-Nya, agar kebenaran tetap terjaga dan memberikan manfaat seperti yang diperjuangkan dan diharapkan hamba-hamba-Nya. Wallahu a’lam bishawab.

Prinsip Ekonomi Islam Utamakan Moral dan Etika dalam Berbisnis

Sistem ekonomi kapitalis yang dianut sebagian besar negara di dunia dipercaya sebagai salah satu penyebab paling dominan terjadinya krisis ekonomi global. Kapitalisme yang hanya berorientasi pada pasar dan keuntungan tidak menerapkan sistem moral dalam menjalankan praktik bisnisnya. Hal inilah yang menyebabkan hancurnya perekonomian sejumlah negara dan maraknya pelaku bunuh diri akibat tanggungan kerugian yang begitu besar. 


Dr. Phil Peter Schmiedel saat memaparkan materinya mengatakan, nilai-nilai Islam dapat diterapkan ke seluruh dunia agar tercipta ekonomi yang bermoral dan berkeadilan. Perbincangan mengenai perlunya sistem moral dan etika dalam berbisnis itu
dibahas dalam Seminar dan Lokakarya “Sharia Economics” dengan tema “Economic and Business Ethnic in Islam and Western Civilization: Contribution to Global
Business Governance After Crisis”.


Kegiatan yang digagas Pusat Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi (FE) Unpad tersebut berlangsung Rabu (2/09) di Ruang Multimedia FE Unpad dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai instansi. “Penelitian yang dilakukan Jeffrey Seglin dalam artikelnya berjudul Do It Right  pada November 2001 menyebutkan bahwa perusahaan yang mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis lebih berhasil dibanding perusahaan yang hanya mengejar profit. Dari penelitian tersebut jelas bahwa etika dalam melakukan kegiatan ekonomi harus menjadi suatu kebutuhan,” ungkap salah satu pembicara, Yunizar, Ph.D. yang juga merupakan dosen FE Unpad.

Ia menyebut bahwa selama abad 20, tidak kurang dari 32 krisis ekonomi global melanda dunia. Menurutnya, krisis ekonomi global yang melanda dunia sangat dimungkinkan oleh praktik-praktik bisnis yang tidak mengedepankan moral sebagai sistem nilai. “Dengan kata lain, krisis yang terjadi lebih disebabkan semakin jauhnya praktik-praktik bisnis dari nilai dan aturan Ilahi,” tuturnya. Dalam paparannya berjudul “Relevansi Etika Bisnis dalam Bisnis Global: Perspektif Islam”, Yunizar, Ph.D. mengungkapkan bahwa pentingnya etika dalam berbisnis semakin meluas sebagai respon terhadap gelombang skandal korporasi dari tahun 1980 hingga sekarang. “Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan tuntunan dalam bermualamah atau berbisnis. Tuntutan tersebut diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam setiap aspek kehidupan,” kata Yunizar, Ph.D. 
Ia mengungkapkan empat prinsip berbisnis yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah mendapatkan penghasilan halal dengan usaha sendiri. Prinsip kedua adalah tidak berbisnis barang dan perdagangan yang terlarang, prinsip ketiga adalah selalu bersikap baik dalam hubungan dagang, dan prinsip keempat adalah adanya persetujuan antara pembeli dan pedagang.

Bukan Meng-Islamkan

Pengamat ekonomi asal Jerman,  mengungkapkan bahwa diterapkannya prinsip ekonomi Islam yang bermoral dan beretika dalam berbisnis bukan berarti meng-Islamkan dunia. Menurutnya, digunakannya ekonomi Islam hanya untuk mengeneralisasikan nilai etika dan norma objektif dalam Islam. “Saya tidak menyebut bahwa dengan ekonomi Islam berarti membuat semua orang di dunia memeluk agama Islam. Yang saya maksud adalah nilai-nilai Islam dapat diambil oleh semua orang, sehingga menghasilkan kehidupan ekonomi yang bermoral dan berkeadilan,” ungkap Dr. Peter yang merupakan non-muslim.

Sementara itu, pembicara lainnya, Izzuddin Abdul Manaf, Lc. MA. menilai bahwa sistem ekonomi yang berlandaskan Islam sangat minim risiko dibanding sistem ekonomi konvensional. Hal tersebut, kata Izzuddin, dikarenakan dalam Islam diterapkan sejumlah hukum dan ketentuan yang tidak dimiliki dalam sistem ekonomi konvensional. “Misalnya tidak menjual sesuatu yang belum ada dalam penguasaan atau sesuatu yang tidak dimiliki,” lanjut Izzuddin yang juga dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Sebi, Ciputat.

Rabu, 03 April 2013

Kedudukan Harta dalam Islam

A.     Pengertian Harta
Istilah Harta atau al-mal dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang. Kriteria harta menurut para ahli fiqih terdiri atas: pertama, memiliki unsure nilai ekonomis. Kedua, unsur manfaat atau jasa diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/adat) yang berlaku di masyarakat. As-Syuti berpendapat bahwa istilah Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi baik yang merusak maupun melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungnya status al-Mal terletak pada nilai ekonomis suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya nilai ekonomis dalam harta tergantung pada besar kecilnya manfaat suatu barang. Faktor manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai ekonomis ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari semua jenis harta.
B.     Pandangan Islam Mengenai Harta
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (QS al-Hadiid: 7).
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
”Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk dipergunakan”.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
1.      Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2.      Harta sebagai perhiasan perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan (Al-Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabakan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri (Al-Alaq: 6-7)
3.      Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (Al-Anfal: 28)
4.      Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah bagi  antar sesama manusia, malaui zakat, infak, dan sedekah (At-Taubah: 41, 60: Al Imran: 133-134)
Ketiga, pemilikan narta dapat dilakukan melalui usaha atau mata pencarian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya (Al-Baqarah: 267)
”Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yng bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah” (HR Ahmad).
”Mencari rezeki adalah wajib setelah kewajiban yang lain” (HR Thabrani)
”Jika telah melakukan sholat shubuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezeki” (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur: 1-2), melupakan Zikrullah/mengingat Allah (al-Munafiqun: 9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang saja (al-Hasyr: 7).
Kelima, dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, jual beli barang yang haram, mencuri, merampok, curang dalam takaran dan timbangan, dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad)
2.     Harta yang Halal dan Haram
Isu yang sedang hangat sekarang ini adalah korupsi. Korupsi  terjadi di samping karena sifat serakah dan keinginan hidup bermewah-mewah adalah karena umat manusia telah melupakan  halal dan haram. Hal itu sebenarnya manusiawi saja karena tak ada orang yang ingin hidup miskin, akan tetapi manusia hidup harus punya aturan agar bumi jadi seimbang dan kehidupan manusia aman dan tentram. Oleh sebab itulah Allah mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan hukum dan aturan langit lewat kitab-kitab-Nya yang diwahyukan melalui Nabi dan Rasul untuk disampaikan kepada umat manusia. Dalam hal harta ini agama Islam memnbedakan nya ke dalam dua jenis, yaitu harta halal dan haram.
a.       Harta Halal
Harta halal adalah harta yang diperbolehkan oleh Allah untuk di manfaatkan oleh manusia sebagaimana yang telah diterangkan melalui rasul kepada kita umatnya. Kehalalan harta benda dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi zatnya dan dari sisi cara mendapatkannya.
Harta yang halal karena zatnya adalah meliputi segala jenis makanan dan minuman yang terdapat di dunia ini, kecuali yang telah dijelaskan keharamannya, jadi asalnya semua makanan itu halal kecuali ada dalil baik Al-qur’an ataupun hadits yang sahih yang melarangnya. Dalam surat Al-Maidah ayat 1 Allah berfirman:
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu”
Kemudian dalam ayat 4 surat yang sama Allah berfirman, ”Mereka menanyakan kepadamu, Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, dihalalkan bagimu yang baik-baik”
Kemudian harta yang halal bila di lihat dari cara mendapatkannya, adalah segala suatu yang diperoleh dengan jalan yang diperbolehkan oleh hukum Allah, seperti:
·        Harta yang diperoleh dari warisan
·        Harta yang diperolah melalui zakat
·        Harta terpendam (Harta Karun)
·        Dan lain-lain seperti upah atau gaji
b.      Harta Haram
Yang dimaksud dengan harta haram adalah segala seuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul bagi manusia. Harta haram ternagi 2 macam, yaitu haram karena zatnya dan haram karena cara mendapatkannya.
Harta yang haram karena zatnya antara lain Khamar (makanan atau minuman yang dapat memabukkan atau merusak fikiran), Babi, Bangkai, darah, binatang buas, dll
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) Khamar, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (Q.S Al-Maidah:90)
Sedangkan mengenai binatang buas diterapkan dalam hadis berikut ini:
”memakan semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang bercakar adalah haram (H.R Muslim)
Sedangkan harta yang haram karena cara mendapatkannya adalah setiap harta yang diperoleh dengan jalan yang batil seperti penipuan, pencurian (termasuk korupsi), hasil riba, dan hasil riswah (suap).
Khusus untuk korupsi terkadang orang memandang bahwa hal itu bukan maling sehingga terkesan mereka tidak malu walaupun ketahuan. Padahal korupsi itu lebih kotor dari pada maling, dan lebih jahat dari merampok.
3.     Cara-Cara Memperoleh Harta yang Halal
Liku-liku kehidupan tak dikalkulasi dengan hitungan. Negeri yang sedemikian makmurnya ini, terancam kekurangan sandang, pangan dan papan. Kegoncangan melanda di mana-mana. Kegelisahan menjadi selimut kehidupan yang tidak bisa ditinggalkan. Begitulah kalau krisis ekonomi sudah memakan korban.
Seakan manusia telah lalai, bahwa segala yang terhampar di jagad raya ini ada Dzat yang mengaturnya. Apakah mereka tidak ingat Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan tidaklah yang melata di muka bumi ini melainkan Allahlah yang memberi rezekinya” (QS. Hud: 6)
Keyakinan yang mantap hádala bekal utama dalam menjalani asbab (usaha) mencari rezeki. Ar Rahman yang menjadikan dunia ini sebagai negeri imitan (ujian), telah memberikan jalan keluar terhadap problem yang dihadapi manusia, diantaranya:
  1. Berusaha dan Bekerja
Sudah merypakan sunatullah seseorang ingin mendapatkan limpahan rezeki Allah harus berusaha dan bekerja. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Kalau telah ditunaikan salta Jum’at maka bertebaranlah di muka bumi dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kalian bajía” (QS. Al- Jumu’ah: 10)
Rezeki Allah itu harus diusahakan dan dicari. Tapi, Madang-kadang karena gengsi, sombong dan harga diri seseorang enggan bekerja. Padahal mulia tidaknya suatu pekerjaan itu dilihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram.
  1. Taqwa
Banyak orang melalaikan perkara ini, karena kesempitan hidup yang dialaminya. Dia mengabaikan perintah Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyatakan:
“Dan barang  siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberikan rezekinya kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangkanya”. (QS. Ath Thala: 2)
Yaitu dari jalan yang tidak diharapkan dan diangan-angankan, demikian komentar Catada, seorang tabi’in (Tafsir Ibnu Katsir 4/48). Lebih jelas lagi Syaikh Al Hilali mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi dan Agung memberitahukan, barang siapa yang bertaqwa lepada-Nya niscaya Dia akan memberikan jalan keluar terhadap problem yang dihadapinya dan dia akan terbebas dari mara bahaya dunia dan akhirat serta Allah akan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (Bahjatun Nadhirin 1/44).
  1. Tawakkal
Allah berfirman:
“Dan barang siapa yang bertawaqal lepada Allah niscaya Dia akan mencakupi (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq: 3)
Yakni “barang siapa yang menyerahkan urusannya lepada Allah niscaya Dia akan mencukupi apa yang dia inginkan,” demikian kata Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ Ahkamul Qur’an, 8/106
Dan tidak dinamakan tawakkal apabila tidak menjalani usa. Sesungguhnya menjalani usaha merupakan bagian dari tawakal itu sendiri. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim mengatakan: ”Tawakkal dan kecukupan(yang Allah janjikan) itu, bila tanpa menjalani asbab yang diperintahkan, merupakan kelemahan semata, sekalipun ada sedikit unsur tawakkalnya. Hal yang demikian itu merupakan tawakkal yang lemah. Maka dari itu tidak sepantasnya seorang hambamenjadikan sikap tawakkal itu lemah an tidak berbuat berusaha. Seharusnya dia menjadikan tawakkal tersebut bagian dari asbab yang diperintahkan untuk diperintahkan untuk dijalani, tidak akan sempurna makna tawakkal kecuali dengan itu semua” (Zadul Ma’ad 2/315). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meningatkan kita dalam riwayat yang shahih:
Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana burung diberi rezeki, pergi dipagi  hari dalam keadaan perut kosong, (dan) pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. An Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
  1. Syukur
Syukur hádala jalan lain yang Allah berikan lepada kaum mukminin dalam menghadapi kesulitan rezeki. Dalam surat Ibrohim ayat 7 Allah berfirman:
“Kalau seandainya kalian bersyukur, sungguh-sungguh Kami akan menambah untuk kalian (nikmat-Ku) dan jira kalian mengingkarinya, sesungguhnya adzab-Ku Sangay keras” (QS. Ibrohim:7)
Oleh karena itu dengan cara bersyukur Insta Allah akan mudah urusan rezeki kita. Adapun hakekat syukur hádala: “mengakui nikmat tersebut dari Dzat Yang Maha Memberi nikmat dan tidak mempergunakannya untuk selain ketaatan lepada-Nya”, begitu Al Imam Qurthubi menerangkan pada kita (tafsir Qurthubi 9/225)
  1. Berinfaq
Sebagian orang barangkali menyangka bagaimana mungkin berinfaq dapat mendatangkan rezeki dan karunia Allah, sebab dengan berinfak harta kita menjadi berkurang. Ketahuilah Dzat Yang Maha Memberi Rezeki telah berfirman:
“Dan apa-apa yang kalian infaqkan dari sebagian harta kalian, maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39)
  1. Silaturohmi
Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Barang siapa yang berkeinginan untuk dibentangkan rezeki baginya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturohmi.” (HR. Bukhori Muslim)
  1. Doa
Allah memberikan sensata yang ampuh bagi muslimin berupa doa. Dengan berdoa seorang muslim Insya Allah akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam menuntun kita agar kita berdoa tatkala kita menghadapi kesulitan rezeki.
”Ya Allah aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima.” (HR. Ibnu Majah dan yang selainnya)


4.     Kewajiban Terhadap Harta
Diantara semua agama yang ada di dunia ini, hanya Islamlah satu-satunya agama yang tidak memisahkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, sehingga ungkapan hikmah yang berbunyi, “ad-dunya mazra ‘atu al-akhirak” (duni hádala tempat bercocok tanam untuk kepentingan akhirat) Sangay popular di tengah-tengah muslim. Salah satu prinsip Islam dalam kehidupan duniawi ahíla tentang kewajiban manusia terhadap harta benda.
Harta atau kebendaan yang dimaksud di sini hádala semua jenis benda dan barang untuk bekal hidup manusia, seperti pangan, sandang, papan, perhiasan dan sebagainya. Kewajiban manusia untuk menuntut dan mencari harta itu secara patut, berusaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh, dengan selalu mengharapkan ridho Allah SWT.
Tidak boleh seseorang mencari harta itu dengan menjadikan dirinya sebagai pengemis atau peminta-minta, kecuali jira ia sudah benar-benar tidak berdaya. Demikian pula Islam tidak memperbolehkan seseorang mencari dan mengumoulkan harta dengan penuh tipu daya, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, dengan cara yang tidak halal, dan sebagainya. Hikmah utama menjaga harga diri jangan samoai merendahkan derajat kemanusiaan, serta untuk memelihara jangan terjadi kerusakan dalam pergaulan manusia.
Orang yang mencari harta benda dengan cara penuh kecurangan itu hádala penipu. Orang yang mencari harta dengan mengandalkan meminta-minta itu hádala mengemis, berjudi, mencuri, riba (seperti rentenir, deposito) memeras atau pungutan liar, maka itu hádala pencuri, penjudi dan pemeras. Semua aktifitas menuntut harta seperti itu pada hakikatnya dapat menjatuhkan harga dirinya, sekaligus akan mendapat hukuman dari-Nya. Islam Sangay menghargai seseorang yang makan dan mencari harta dengan hasil kerjanya sendiri. Rasulullah SAW bersabda, “Tak da satupun makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang selain dari jerih payahnya” (Bukhari dan Ahmad).
Mencari rezeki dengan cara yang halal, meski hasilnya sedikit dan dipandang hina oleh orang lain, justru dalam pandangan Islam itu lebih baik. Mereka yang mencari rezeki dengan cara yang halal seperti pedagang apongan atau pedagang kaki lima, jauh lebih terhormat dalam pandangan Allah, dari pada mereka yang berdasi dan berjasbekerja di ruangan AC, tetapi mencari harta dengan cara melakukan penyimpangan dan kecurangan terhadap amanah yang dipercayakan kepadanya.
Rasulullah saw dalam sabdanya mengatakan, “Sesungguhnya akan lebih baik, bila seseorang diantaramu memasukkan tanah ke dalam mulutnya (makan tanah) dari pada ia memakan sesuatu yang diharamkan Allah”. (HR. Baihaqi).
Benar, tidak dijumpai satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang mencela kekayaan dan orang yang mencari kaya sesuai dengan syariat yang telah diturunkan lepada Nabi Muhammad SAW.
Yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an hádala celan terhadap kekayaan yang dipergunakan untuk mendurhakai Allah. Atau mencela si pengumpul kekayaan yang serakah, tapi menghiraukan kesengsaraan orang-orang di sekitarnya.
Harta dan juga keturunan (anak) aníllala sarana untuk mencapai keridhoan Allah, “Harta dan anak-anak hádala perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan ingá kekal lagi saleh ádalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi [18]: 46)
Karena itu jangan sampai harta serta anak menjadikan manusia lalai untuk ingat lepada Allah, “orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 9).
Selain itu, ajaran Islam juga tidak menyukai si pemilik modal besar menggunakan hartanya dengan penuh kesombongan untuk menindas si lemah. Orang yang terpuruk dalam destapa dan kesengsaraan hidup, memang mudah sekali terpancing untuk melepaskan hartanya.
Orang kaya selalu memanfaatkan kondisi orang yang tengah tertekan ekonominya untuk semakin memperkaya dirinya, misalnya dengan iming-iming ingin membantu lantas memaksa orang tersebut mensual tanhah yang dimilikinya.
Akan mendapat berkah dari Allah SWT yang Maha Pemberi Rezeki, orang-orang kaya yang tidak sombong, dan memanfaatkan sebagian hartanyauntuk kepentingan orang banyak dalam rangka mengharapkan keridhoan-Nya menuju hari perhitungan kelak.
Firman Allah SWT, Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang siapa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dial ah Pemberi Rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba [34]: 39).

Jumat, 22 Maret 2013

HUKUM ISLAM TENTANG WAKAF



 



Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syarak, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.


Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:

Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa

Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan


Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri

Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat

Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.

Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:

اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)

Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Harta yang Diwakafkan

Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:

a. sebidang tanah

b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya

c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan

Dalam Islam, pemberian semacam ini termasuk sedekah jariyah atau amal jariyah, yaitu sedekah yang pahalanya akan terus menerus mengalir kepada orang yang bersedekah. Bahkan setelah meninggal sekalipun, selama harta yang diwakafkan itu tetap bermanfaat. Hadits nabi SAW:

اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)

Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Berkembangnya agama Islam seperti yang kita lihatsekarang ini diantaranya adalah karena hasil wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan masjid, mushala (surau), madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya hampir semuanya berdiri diatas tanah wakaf. Bahkan banyak pula lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan pondok-pondok pesantren yang kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.

Karena itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang yang kaya agar mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentingan Islam. Hal ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas pertimbangan kemaslahatan umat dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan umat.

4. Pelaksanaan Wakaf di Indonesia

a. Landasan

1. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

2. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik

3. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelasanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

4. Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/P/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik

b. Tata Cara Perwakafan Tanah Milik

1. Calon wakif dari pihak yang hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang dihadapan Pejabat Pembantu Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf.

2. Untuk mewakafkan tanah miliknya, calon wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada nadir yang telah disyahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf. Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya dalam bentuk tertulis atau surat

3. Calon wakif yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi

4. Tanah yang diwakafkan baik sebagian atau seluruhnya harus merupakan tanah milik. Tanah yang diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa

5. Saksi ikrar wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat akalnya. Segera setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Ata Ikrar Wakaf Tanah

c. Surat yang Harus Dibawa dan Diserahkan oleh Wakif kepada PPAIW sebelum Pelaksananaan Ikrar Wakaf

Calon wakif harus membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW surat-surat berikut.

1. sertifikat hak milik atau sertifikat sementara pemilikan tanah (model E)

2. Surat Keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu perkara dan dapat diwakafkan

3. Izin dari Bupati atau Walikota c.q. Kepala Subdit Agraria Setempat

d. Hak dan Kewajiban Nadir

Nadir adalah kelompok atau bandan hukum Indonesia yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf

1. Hak Nadir

Nadir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak melebihi dari 10 % ari hasil bersih tanah wakaf
Nadir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.

2. Kewajiban Nadir

Kewajiban nadir adalah mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, antara lain:

menyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf
memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya
menggunakan hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakafnya.

5. Mengganti Barang Wakaf

Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan barang yang diwakafkan tadi.

Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya.

6. Pengaturan Wakaf

Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya ada dan berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya.

Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional, kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.

A. Hikmah Wakaf

Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:

Melaksanakan perintah Allah SWT untuk selalu berbuat baik. Firman Allah SWT:

(lihat Al-Qur’an onlines di google)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj : 77)

Memanfaatkan harta atau barang tempo yang tidak terbatas

Kepentingan diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah dan untuk kepentingan masyarakat Islam sebagai upaya dan tanggung jawab kaum muslimin. Mengenai hal ini, rasulullad SAW bersabda dalam salah satu haditsnya:

مَنْ لاَ يَهْتَمَّ بِاَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مْنِّى (الحديث)

Artinya: “Barangsiap yang tidak memperhatikan urusan dan kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia dari golonganku.” (Al Hadits)

Mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi

Wakaf biasanya diberikan kepada badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih berikut ini.

مَصَالِحِ الْعَامِّ مُقَدَّمُ عَلى مَصَالِحِ الْجَاصِّ

Artinya: “Kemaslahatan umum harus didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”

Adapun manfaat wakaf bagi orang yang menerima atau masyarakat adalah:

dapat menghilangkan kebodohan
dapat menghilangkan atau mengurangi kemiskinan
dapat menghilangkan atau mengurangi kesenjangan sosial
dapat memajukan atau menyejahterakan umat

Kamis, 07 Maret 2013

GHULUL (KORUPSI) DAN BISNIS PEJABAT PADA MASA PEMERINTAHAN UMAR IBNU KHATAB

GHULUL (KORUPSI) DAN BISNIS PEJABAT
PADA MASA PEMERINTAHAN UMAR IBNU KHATAB


Siapa saja  yang telah aku aku angkat sebagai pekerja dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi (Ghulul) (HR Abu Daud)
Konsep atau terminology yang sering dihubungkan dengn korupsi karena melihatnya sebagai pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga ialah Ghulul.  Ghulul secara leksikal dimaknai “akhdzu al-syai wa dassahu fi mata’ihi” (mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya). Pada mulanya ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan.
            Diantara para sahabat Nabi yang paling tegas dalam pengawasan harta para pejabat adalah Umar Ibnu Khatab .Setiap kali mengangkat wali (pejabat) di suatu wilayah, ia mewajibkan yang bersangkutan untuk menghitung kekayaannya sebelum serah terima jabatan, dan menghitung ulang setelah selesai melaksanakan tugasnya. Apabila kekayaannya bertambah (lebih dari pendapatan gajinya), Umar akan memerintahkannya untuk memasukkan kedalam kas Negara (Khazanatan al-daulah).
            Bahkan umar melarang para pejabat berbisnis, karena dengan kedudukannya, seorang pejabat dapat menggunakan pengaruhnya untuk menguasai pasar atau bisnis,sehingga terjadi persaingan tidak sehat. Hal ini bisa dilihat, ketika Umar mengangkat Utbah ibn Abi Sufyan sebagai wali di suatu wilayah, maka ketika kembali ke Madinah dengan membawa kekayaan yang besar, Umar bertanya : Min aina laka hadza ya Utbah? (kau dapatkan dari mana hartamu ini hai Utbah?) Utbah menjawab  aku keluar ke sana dengan uangku sambil berdagang. Umar berkata: aku mengutusmu sebagai wali negeri, tidak mengutus kamu sebagai pedagang, karena sebenarya dagangan dan kekuasaan itu tidak sama. Oleh karena itu masukanlah hartamu ke Bait al-mal kaum muslimin
Dengan demikian perolehan yang pada prinsipnya diperbolehkan dalam Islam, seperti infak, sedekah, hibah dan hadiah, bahkan bisnis dapat berubah status hukumnya menjadi haram jika yang menerima itu para pejabat pemerintah atau orang yang menerima hadiah karena pekerjaannya atau profesi dan tugasnya. Hal ini diberlakukan selain  dari sabda Rasulullah yang tegas dan jelas tersebut, juga pertimbangan adanya kekhawatiran rusaknya mental para pejabat dan pudarnya obyektifitas dalam menangani suatu perkara.
Bila mengacu pada unsur-unsur tindak pidana korupsi, maka Ghulul memenuhi semua unsur korupsi, karena:Ghulul terjadi karena ada niat untuk memperkaya diri sendiri, penyalah gunaan wewenang, merugikan orang lain sekaligus merugikan kekayaan Negara. Serta merusak sitem hukum dan merusak moral masyarakat

Minggu, 20 Januari 2013

PRAKTEK BISNIS YANG DIPERBOLEHKAN DAN DILARANG MENURUT ISLAM


PRAKTEK BISNIS YANG DIPERBOLEHKAN DAN DILARANG
MENURUT ISLAM
 
 
Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang cukup memprehatinkan, namun sengat menarik untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis
            Padahal secara tegas Rasulullah pernah bersabda bahwa perdagangan (bisnis) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Dengan demikian, aktivitas perdagangan atau bisnis nampaknya merupakan arena yang paling memberikan keuntungan. Namun harus dipahami, bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam memberikan kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang (haram). Tulisan ini akan diposting  menjadi (4 bagian)

Tingkat Perilaku yang Halal dan Tidak Halal Dalam Islam (Bagian 1)
Dalam menjelaskan aturan-aturan moral Islam, sangat penting bagi kita untuk memahami bahwa tindakan-tindakan dapat dikategorikan menurut tingkat yang halal ataupun yang tidak halal. Dalam fiqh, terdapat 5 jenis tindakan sebagai berikut:
1.      Fard menunjukan jenis tindakan yang bersifat wajib bagi setiap orang yang mengaku sebagai Muslim. Misalnya, melaksanakan shalat lima kali sehari, berpusa, dan zakat adalah sejumlah tindakan wajib yang harus dilaksanakan seorang muslim.
2.      Mustahabb menunjukan tindakan yang tidak bersifat wajib namun sangat dianjurkan bagi kaum Muslim. Contoh tindakan ini mencakup puasa sunnah setelah Ramadhan, melaksanakan sholat tarawih di bulan ramadhan dan lain sebagainya.
3.      Mubah menunjukan tindakan yang boleh dilakukan dalam pengertian tidak diwajibkan namun juga tidak dilarang. Sebagai contoh, Seorang muslim barangkali menyukai jenis makanan halal tertentu dibidang makanan halal yang lain, Atau seorang muslim mungkin suka berkebun.
4.      Makruh menunjukkan tindakan yang tidak sepenuhnya dilarang, namun dibenci oleh Allah. Tingkatan makruh lebih kurang dibanding haram, dan hukumannya jika lebih kurang dibanding hukuman haram, kecuali jika dilakukan secara berlebihan dan dengan cara yang cenderung membawa kepada yang haram. Sebagai contoh, meskipun merokok tidak dilarang sebagaimana meminum alkohol, merokok merupakan tindakan makruh.
5.      Haram menunjukan tindakan yang berdosa dan dilarang. Berbuat sesuatu yang haram adalah sebuah dosa besar, misalnya membunuh, berzina dan meminum alkohol. Tindakan seperti ini cenderung akan mendatangkan hukuman dari Allah SWT baik di Akherat maupun secara legal di dunia ini.

Batas-batas antara kelima kategori yang telah disebutkan di atas bersifat absolut. Sebagai contoh, apa yang haram dalam satu kondisi mungkin boleh dilakukan dalam kondisi yang lain. Seorang muslim tidak boleh makan daging babi. Namun demikian, jika ia dalam kondisi menghadapi maut karena kelaparan, dan tidak ada yang lain kecuali daging babi, maka diperbolehkan untuk memakan daging babi dalam situasi khusus tersebut.
Tabel dibawah ini merangkum prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan persoalan halal dan haram seperti dipaparkan oleh Yusuf al-Qardhawi. Berdasarkan kategori di atas dan prinsip keempat dan kelima, atauran yang pertama adalah bahwa apa yang halal adalah juga pasti bermanfaat dan suci. Sementara apa yang tidak halal akan melukai kita. Sebagai conatoh, Islam telah lama melarang kaum muslim untuk meminum alkohol. Baru-baru ini terdapat studi mengenai kelahiran anak yang menunjukkan bahwa berapapun banyaknya alkohol yang dikonsumsi oleh seorang wanita selama masa kehamilan dapat mempengaruhi sang anak dalam kandungannya, dan akan mengakibatkan sindrom alkohol bagi janin ataupun hambatan perkembangan mental. Secara implisit, apa yang halal adalah juga bermoral dan apa yang tidak halal adalah tidak bermoral. Sebagai contoh, perzinaan adalah perbuatan yang tidak halal dan juga tidak bermoral. Aturan yang kedua adalah bahwa apa yang akan membawa tindakan yang tidak halal adalah juga tidak halal. Karenanya, pornogarfi adalah tidak halal dan juga tidak bermoral karena dapat membawa kepada perzinaan.
            Dalam memetakan perilaku etis seseorang, sangatlah penting bagi kaum muslim baik untuk menghindari hal-hal yang tidak halal dan juga untuk menghindari hal-hal yang tidak halal menjadi sesuatu yang halal. Allah SWT berfirman:

Katakanlah: Terangkanlah kepadaku mengenai rezeki yang diturunkan Allah SWT kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagaian halal. Katakanlah: Apakah Allah SWT telah memberikan izin kepadamu mengenai hal ini ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah SWT QS. Yunus (10);59.

Hal yang sebaliknya juga berlaku sama. Kaum muslim tidak boleh mengharamkan apa yang menurut Allah SWT halal. Sebagai contoh, kerbau barangkali merupakan spesies yang mulai langka. Seseorang mungkin akan berhenti memburunya agar spesies ini berkembang kembali, namun ia tidak dapat menyatakan bahwa memakan daging kerbau atau memperdagangkan kulit kerbau adalah dilarang.
 
 
    TABEL 1
Prinsip-prinsip Islam mengenai Halal dan Haram
  1. Prinsip dasarnya adalah diperbolehkan segala sesuatu.
  2. Untuk membuat absah dan melarang adalah hak Allah semata.
  3. Melarang yang Halal dan membolehkan yang Haram sama dengan syirik.
  4. Larangan atas segala sesuatu didasarkan atas sifat najis dan melukai.
  5. Apa yang halal adalah yang diperbolehkan, dan yang Haram adalah yang dilarang.
  6. Apa yang mendorong pada yang haram adalah juga haram.
  7. Menganggap yang haram sebagai halal adalah dilarang.
  8. Niat yang baik tidak membuat yang haram bisa diterima.
  9. Hal-hal yang meragukan sebaiknya dihindari.
  10. Yang haram terlarang bagi siapapun.
  11. Keharusan menentukan adanya pengecualian.



Kamis, 03 Januari 2013

Bagaimana Cara Berbisnis Nabi Muhammad SAW.?


Menurut etika bisnis Islam, setiap pelaku bisnis (pengusaha) dalam berdagang atau menjalankan usahanya, hendaknya tidak semata-mata bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, yang paling penting adalah mencari keridhoan dan mencapai keberkahan atas rezeki yang diberikan Allah SWT. Hakikat keberkahan usaha tersebut adalah kemantapan dari usaha yang  dilakukan seorang pengusaha dalam bentuk memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai Allah SWT. Untuk memperoleh keberkahan dalam jual beli, Islam mengajarkan prinsip-prinsip etis sebagaimana yang diajarkan Rasulullah (Faisal, 2009).

Sangat banyak petunjuk mengenai etika bisnis yang diajarkan Rasulullah SAW. Setidaknya penulis mengompilasi sebanyak dua puluh poin, yang diinspirasi dari lima poin tulisan Badrudin (2001:167-172) yaitu sebagai berikut  :

1.      Kejujuran

Dalam hal ini, pedagang atau pengusaha tidak diperbolehkan menyembunyikan kecacataan barang. Jika hal tersebut disembunyikan, keberkahan jual beli akan hilang. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda, "Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu barang yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya" (HR Al-Quzwani). Dalam hadist lain pun bersabda, "Siapa yang menipu kami, dia bukan kelompok kami" (HR Muslim). Rasulullah selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang  busuk di bagian bawah dan barang baru di atas. Selanjutnya, Ibnu Umar menurut riwayat Bukhori, memberitakan bahwa seorang lelaki menceritakan kepada Nabi SAW bahwa ia tertipu dalam jual beli. Kemudian Nabi SAW bersabda, "Apabila engkau berjual beli, katakanlah, ‘tidak ada tipuan’."

2.      Pencatatan utang  piutang

Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam hubungan tersebut, Alqur’an mengajarkan pencatatan utang piutang yang berguna untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu waktu lupa atau khilaf  :  "Hai orang-orang yang beriman, kalau kalian berutang-piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian tuliskan. Dan seorang penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana telah diajarkan oleh Allah kepadanya." (QS al-Baqarah [2]  :  282)

3.      Signifikansi sosial kegiatan bisnis

Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi  kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnisnya. Dengan tegas dapat dikatakan bahwa berbisnis bukanlah mencari keuntungan material semata, tetapi juga -harus didasari atas kesadaran- memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.

Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah.

4.      Tidak melakukan sumpah palsu

ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan pembelinya dengan jalan bersumpah agar dagangannya laris. Nabi Muhammad SAW sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnisnya. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhori, ia bersabda,  "Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah." Dalam hadist riwayat Abu Zar, Rasulullah SAW mengancam orang yang bersumpah palsu dalam bisnis dengan azab yang pedih, dan Allah tidak akan memedulikannya di hari kiamat nanti (HR Muslim). Praktik sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini, sering dilakukan karena dianggap dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya akan meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari bahwa dalam keuntungan yang berlimpah tersebut, keberkahan tidak akan menyertainya.

5.      Sikap longgar, ramah-tamah, dan murah hati

seorang pelaku bisnis harus bersifat longgar, ramah dan murah hati dalam melakukan bisnisnya. Hal itu selaras dengan sabda Rasulullah, "Allah mengasihi orang yang bermurah hati saat menjual, membeli, dan menagih utang" (HR Bukhari). Kemudian dalam hadits lain, Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah bersabda, "Ada seorang pedagang yang memiutangi orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang ditagih itu dalam kesempitan, dia diperintahkan kepada pembantu-pembantunya, ‘Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah memberikan kelapangan kepada kita’. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya." Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun mengatakan, "Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis" (HR Bukhari dan Tarmizi).

6.      Tidak menjelekkan bisnis orang lain

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Janganlah seseorang diantara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain" (HR Muttafaq ‘alaih).

7.      Jujur dalam takaran dan timbangan

Allah berfirman dalam surah al-Muthafifin (83) ayat 1-3, yang artinya sebagai  berikut  :

"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi."

Berdasarkan ayat tersebut, dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan.

8.      Islam tidak mengenal persaingan bisnis, teapi mengenal bersinergi

Dalam hal ini, kegiatan bisnis seorang pengusaha dengan pengusaha lainnya harus saling menguntungkan, atau dengan perkataan lain dilarang menyaingi kawan bisnis. Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah, "Janganlah kamu menjual dengan menyaingi dagangan saudaramu" (HR Muttafaq ‘alaih).

9.      Bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah

Hal ini sesuai dengan firman Allah, "Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, serta dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan pelihatan menjadi goncang."

10.  Pembayaran upah sebelum keringat karyawan kering

Nabi Muhammad SAW bersabda, "berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya." Hadits ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus  sesuai dengan kerja yang dilakukan. 

11.  Tidak memonopoli bisnis

Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh sederhana  :  eksploitasi (penguasaan ) individu tertentu atas hak milik  sosial, seperti  :  air, udara, dan tanah, serta kandungan isinya, seperti  :  barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Hal seperti itu dilarang dalam etika bisnis Islam (Abdul, 1992).

12.  Tidak melakukan bisnis dalam kondisi berbahaya (mudarat)

Dalam hal ini, seorang pedagang atau pengusaha dilarang berbisnis dalam keadaan yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Contoh  :  larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi kekacauan politik dan larangan menjual barang halal, seperti anggur kepada produsenminuman keras karena diduga keras, ia akan mengolahnya menjadi miras.

13.  Anjuran berzakat

Setiap pengusaha dianjurkan untuk menghitung  dan mengeluarkan zakat barang dagangan setiap tahun sebanyak 2,5%  sebagai salah satu cara untuk membersihkan harta yang diperoleh dari hasil usaha.

14.  Hanya menjual barang yang halal

Dalam salah satu hadits, Nabi SAW menyatakan bahwa jika Allah mengharamkan sesuatu barang, haram pula harganya (diperjualbelikan). Oleh karena itu, dalam berbisnis, pengusaha diwajibkan untuk menjual komoditas yang suci dan halal, bukan barang haram, seperti  :  babi, anjing, minuman keras, dan ekstasi. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan ‘patung-patung’"     (HR Jabir).

15.  Segera melunasi utang

Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan utangnya dengan sabda, "Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling segera membayar hutangnya"  (HR Hakim)

16.  Pemberian tenggang waktu apabila pengutang belum mampu membayar

Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar utang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya" (HR Muslim)

17.  Larangan riba

Bisnis yang dilaksanakan harus bersih dari unsur riba, sebagaimana Allah telah berfirman, "Allah menghapuskan riba dan menyempurnakan kebaikan sedekah. Dan Allah tidak suka kepada orang yang tetap membangkang dalam bergelimang dosa". Dalam firman Allah yang lain, yaitu dalam surat al-Baqarah [2] : 278, yang artinya  :

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman".

Selanjutnya, Allah menilai bahwa pelaku dan pemakan adalah orang yang kesetanan. Oleh karena itu, Allah dan Rasul mengumumkan perang  terhadap riba. Berikut ini firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) ayat 275, yang artinya  : 

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."