Selasa, 30 April 2013

Ijtihad Ekonomi Islam

Sudah beberapa kali dalam beberapa diskusi tentang kecenderungan operasional dan produk perbankan syariah yang semakin jauh dari jati diri ekonomi Islam, kita harus berhadapan dengan argumentasi klasik “ijtihad itu meskipun salah tetap akan mendapat satu kebaikan”. Argumentasi ini seakan dijadikan alasan ampuh bagi mereka yang bersemangat melakukan terobosan-terobosan operasional dan produk perbankan syariah. Padahal terobosan yang dilakukan terkesan mengabaikan kemashlahatan system.

Tetapi dengan kecenderungan perkembangan bentuk aplikasi khususnya produk perbankan syariah yang semakin identik dengan produk perbankan konvensional. Tentu argumentasi dasar ijtihad tadi menjadi “mengganggu”, entah ada yang salah dalam penggunaannya atau karena banyak yang belum begitu dalam pemahaman dari maksud sesungguhnya dari dalil itu. Karena itu pulalah, kita jadi tertarik untuk mengetahui lebih dalam makna dalil itu serta bagaimana sepatutnya dalil itu digunakan.

Pertama kali yang tentu perlu diketahui adalah makna kata dari ijtihad. Dari beberapa literature disebutkan bahwa ijtihad akar katanya memiliki tiga huruf (jahada) yang dalam bentuk masdarnya menjadi jahdun dan juhdun. Ulama ada yang berpendapat keduanya memiliki makna yang sama yaitu kemampuan, tetapi ada pula ulama yang mengartikan berbeda, yaitu al jahd itu sebagai “mengerahkan segala kemampuan” dan al juhd sebagai “kesulitan”.

Tetapi jika di teliti lebih jauh sebenarnya pembagian makna al jahd dan al juhd ini memiliki kesamaan maksud, dimana keduanya dapat dikatakan saling melengkapi. Dengan demikian dapat dikatakan kedua akar kata itu menghimpun makna; mengerahkan segala kemampuan dalam menghadapi kesulitan. Tidak heran jika seorang ulama bernama Raghib Al Isfahani mendefinisikan kata ijtihad dengan menggabungkan makna dua akar kata diatas yang memiliki inti substansi yang sama; ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh yang mengerahkan segala kemampuan dengan menanggung semua kesulitan yang ada di dalamnya.

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa ranah dan penggunaan ijtihad menyebar diberbagai aspek kehidupan, seperti politik, hukum, social-budaya dan juga ekonomi. Khusus untuk ekonomi (Islam), ijtihad harus diakui memiliki peran yang sangat krusial. Dengan perkembangan ekonomi yang semakin kompleks, sofistikasi produk dan transaksi, dimana perkembangan dan sofistikasi tersebut secara teknis tidak sama dengan apa yang dilakukan pada masa Nabi dan Sahabat, maka hal ini membuat ijtihad menjadi satu kebutuhan yang sangat penting. Posisi ijtihad juga menjadi sentral. Oleh sebab itu, ketepatan melakukan dan kebenarannya hasil menjadi satu hal yang juga krusial.

Dengan perkembangan mutakhir dari ekonomi khususnya di sector keuangan syariah, peran ijtihad menjadi semakin sentral. Karena hampir disetiap pengembangan keuangan syariah, baik itu operasional maupun produk, selalu bersentuhan dan di-back up dengan ijtihad. Ijtihadlah yang menjadi factor yang sangat menentukan untuk menjaga orisinalitas praktek keuangan syariah agar aplikasinya selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam. Ijtihad yang benar, tentu mampu memelihara karakteristik unik keuangan syariah. Terlebih lagi, ketika saat ini keuangan syariah dipraktekkan berdampingan dengan keuangan konvensional dan pelakunya mayoritas masih berlatar belakang pendidikan (pengetahuan, keahlian dan pola pikir konvensional.

Atas alasan ini, kita biasanya menilai ijtihad menjadi sangat penting untuk diketahui nature-nya, seperti kapan secara tepat melakukannya, bagaimana menggunakannya, proses mendapatkannya, atau siapa yang patut melakukannya. Dalam pengembangan system keuangan syariah, ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ketika memang tidak ditemukan dalil pelarangan dari suatu muamalah, yang perlu diyakinkan apakah memang tidak ada dalil yang melarang atau pengetahuan yang terbatas sehingga tidak mampu memahami subtansi masalah sehingga akhirnya sampai pada proses ijtihad yang berkesimpulan “boleh”.

Berbeda dengan ijtihad menentukan kehalalan suatu makanan, ijtihad praktek keuangan syariah memiliki alat control dalam menilai ketepatan ijtihad tersebut. Apa alat kontrolnya? Yang kita yakini, alat control utamanya adalah implikasi praktek tersebut. Implikasi ekonomi tentu mudah diketahui menggunakan logika sebab-akibat. Praktek keuangan syariah adalah bagian dari ekonomi yang memang pada dasarnya adalah alur transmisi sebab-akibat. Sehingga kebenaran dan ketepatan ijtihad menjadi relative mudah dikenali atau setidaknya memiliki banyak alat ukurnya. Oleh karenanya, ditengah kondisi pengetahuan ekonomi dan fikih yang belum melebur secara baik di diri seorang pakar atau ulama saat ini, maka ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah, sepatutnya dilakukan secara kolektif oleh dua pemegang disiplin ilmu tersebut.

Nah, berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa hal krusial yang menurut kita menjadi penting untuk dipahami. Ketika kaidah muamalah Islam (termasuk didalamnya keuangan syariah) menyebutkan bahwa “pada dasarnya semua muamalah itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, maka dalam muamalah Islam pertanyaan yang relevan terhadap suatu aktifitas ekonomi apakah ia boleh atau tidak boleh adalah “apakah ada dalil yang melarang”. Berbeda dengan ibadah, dimana pertanyaan yang relevan adalah “apakah ada dalil yang membolehkan”, mengingat muamalah dan ibadah memiliki dua kaidah yang bertolak belakang.

Oleh sebab itu, maka mengklasifikasikan sebuah praktek muamalah itu boleh atau tidak boleh (sekali lagi) sangat ditentukan oleh kedalaman pemahaman dan pengetahuan seseorang (yang diamanahi tugas mengeluarkan fatwa/berijtihad) terhadap dalil-dalil pelarangan bermuamalah. Ketika pengetahuan dan pemahamannya tidak begitu luas dan dalam, maka boleh jadi seseorang akan overlook dalam mengambil kesimpulan atas sebuah masalah. Dan kita meyakini bahwa hal terpenting dari pengetahuan dan pemahaman yang dalam itu adalah sebuah hasil analisa atau kesimpulan yang berdasar pada pemahaman utuh atau pengetahuan substansi/esensi/hakikat masalah.

Selain itu, ijtihad yang dilakukan seseorang untuk kepentingan pribadi dirinya mungkin tidak akan menjadi masalah yang terlalu krusial dibandingkan ijtihad yang ditujukan untuk kepentingan umum, kepentingan masyarakat luas. Oleh sebab itu ijtihad dibidang keuangan (termasuk ekonomi) syariah harus disikapi dengan berhati-hati, dengan sensitifitas yang tinggi, mengingat ijtihad (yang berakhir pada perumusan fatwa) dibidang itu mempertaruhkan kepentingan umum. Kaidah bahwa “ijtihad itu meskipun salah tetap akan mendapat satu kebaikan” tidak dapat dengan serampangan dipakai dengan konotasi menganggap ringan semua masalah. Kaidah ini tidak bisa dengan seenaknya dijadikan dalih untuk mengeluarkan fatwa tanpa perhitungan yang matang, tanpa landasan yang kuat.

Ingat!!! Dalam praktek keuangan syariah, ijtihad yang salah dan berakhir pada fatwa yang keliru akan berimplikasi pada kerusakan system keuangan bahkan kekacauan ekonomi yang berakibat buruk bagi banyak orang. Tidak cukup hanya mengatakan bahwa kalau ijtihadnya keliru, maka ada satu kebaikan yang diberikan oleh Allah SWT. Ijtihad harus dilakukan dalam ruang usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal, sesuai dengan definisi ijtihad itu sendiri.

Ditengah kondisi wujudnya dikotomi pengetahuan fikih dan praktek keuangan (karena keilmuan keuangan syariah relative baru, sehingga memang ahli fikih masih terbatas pengetahuannya pada aspek ekonomi/keuangan dan praktisi keuangan belum memiliki pengetahuan fikih dengan baik), maka menjadi sangat wajar apabila sebuah ijtihad dalam rangka mendapatkan fatwa, mempertimbangkan dua sudut pandang pengetahuan tadi.

Artinya ijtihad harus dilakukan bersama, fatwa harus mendengarkan dan mempertimbangkan kedua sudut pandang, baik alasan fikih maupun alasan keuangan termasuk ekonomi, agar mendapatkan gambaran utuh dan menyeluruh terhadap suatu masalah. Bagaimana bisa menerima ijtihad yang berasal dari seseorang yang tidak mengetahui dengan benar masalah yang menjadi objek ijtihadnya. Apalagi dalam bidang keuangan syariah atau perbankan syariah. Ijtihad terhadap produk keuangan/perbankan syariah, haruslah didasari atas pemahaman mendalam terhadap produk tersebut, memahami mekanismenya juga implikasi-implikasinya.


Jika hanya mengakomodasi satu pihak saja tentu akan misleading dalam menyimpulkan sebuah permasalahan yang tengah diijtihadkan. Apalagi dalam ranah fikih, pada perkembangannya terdapat kekayaan pendapat, sampai-sampai sudah ada anggapan bahwa fikih menyediakan semua dalil dari halal sampai haram untuk satu jenis aktifitas tertentu. Kondisi seperti itu membuat praktek keuangan syariah memiliki risiko yang sangat besar dalam ketidaktepatan memilih dalil. Sehingga, dalam proses ijtihad dalam rangka mendapatkan fatwa, ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah membutuhkan alat bantu lain atau alat control agar pemilihan dalil betul-betul tepat dan benar. Dan sejauh ini, kita masih meyakini alat bantu atau control yang relevan adalah pengetahuan ekonomi atau keuangan.

Dilain pihak, Jangan sampai pula ketidak-tahuan atau ketidak-dalaman pengetahuan pada Qur’an dan Sunnah khususnya pada prinsip-prinsip pelarangan muamalah atau wawasan yang lain, menjadikan ijtihad sebagai dalih untuk membenarkan apa-apa yang substansinya dilarang oleh Islam. Padahal dalil pelarangannya sudah ada dan jelas, namun karena ketidaktahuan saja membuat seseorang melakukan ijtihad. Bayangkan apa akibatnya satu ijtihad yang hanya berdasar pada pengetahuan yang terbatas. Terlebih lagi di ranah ekonomi.

Betul bahwa kaidah fiqih muamalah “dalam muamalah semua itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, memang akan membuat pelaku muamalah memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam berkreasi muamalah. Namun sebelumnya haruslah setiap orang yang memiliki amanah mengeluarkan fatwa, menjaga kedalaman pemahaman agar kreasi muamalah betul-betul berlandaskan pada pengetahuan yang cukup.

Jangan sampai kaidah tersebut tidak membuat pelaku buta matanya terhadap hakikat-hakikat transaksi. Atau malah dijadikan alat untuk seenaknya melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa. Kehati-hatian menjadi penting, ingat banyak orang yang kemashlahatannya bergantung pada fatwa tersebut. Ketidak tahuan atau pengetahuan yang tidak mendalam pada dalil-dalil pelarangan bentuk-bentuk transaksi dapat saja membuat pelaku terjebak pada transaksi sejenis itu. Oleh sebab itu, sikap kehati-hatian, meluaskan sudut pandang, melibatkan banyak perspektif sepatutnya menjadi upaya mitigasi dalam rangka mendapatkan hasil ijtihad yang maksimal, hasil yang sejalan dengan semangat ekonomi Islam, hasil yang penuh berkah dan kebaikan-kebaikan.

Dan terlepas dari itu semua, ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah juga sangat dipengaruhi oleh tingkat interaksi, sensitifitas social, tingkat kesadaran dan pengetahuan para pihak-pihak dalam sebuah komunitas ekonomi, seperti otoritas fatwa, otoritas industry, akademisi dan masyarakat itu sendiri. Kalaupun akhirnya semua upaya telah dilakukan secara maksimal dalam mendapatkan sebuah fatwa dari ijtihad ekonomi, dan ternyata hal itu mengandung kelemahan-kelemahan, boleh jadi fatwa tersebut merepresentasikan kualitas komunitas ekonomi tersebut. Kalau sudah seperti itu, kita berharap Tuhan segera memberikan hidayah, petunjuk dan pengetahuan-Nya, agar kebenaran tetap terjaga dan memberikan manfaat seperti yang diperjuangkan dan diharapkan hamba-hamba-Nya. Wallahu a’lam bishawab.