Minggu, 20 Januari 2013

PRAKTEK BISNIS YANG DIPERBOLEHKAN DAN DILARANG MENURUT ISLAM


PRAKTEK BISNIS YANG DIPERBOLEHKAN DAN DILARANG
MENURUT ISLAM
 
 
Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang cukup memprehatinkan, namun sengat menarik untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis
            Padahal secara tegas Rasulullah pernah bersabda bahwa perdagangan (bisnis) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Dengan demikian, aktivitas perdagangan atau bisnis nampaknya merupakan arena yang paling memberikan keuntungan. Namun harus dipahami, bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam memberikan kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang (haram). Tulisan ini akan diposting  menjadi (4 bagian)

Tingkat Perilaku yang Halal dan Tidak Halal Dalam Islam (Bagian 1)
Dalam menjelaskan aturan-aturan moral Islam, sangat penting bagi kita untuk memahami bahwa tindakan-tindakan dapat dikategorikan menurut tingkat yang halal ataupun yang tidak halal. Dalam fiqh, terdapat 5 jenis tindakan sebagai berikut:
1.      Fard menunjukan jenis tindakan yang bersifat wajib bagi setiap orang yang mengaku sebagai Muslim. Misalnya, melaksanakan shalat lima kali sehari, berpusa, dan zakat adalah sejumlah tindakan wajib yang harus dilaksanakan seorang muslim.
2.      Mustahabb menunjukan tindakan yang tidak bersifat wajib namun sangat dianjurkan bagi kaum Muslim. Contoh tindakan ini mencakup puasa sunnah setelah Ramadhan, melaksanakan sholat tarawih di bulan ramadhan dan lain sebagainya.
3.      Mubah menunjukan tindakan yang boleh dilakukan dalam pengertian tidak diwajibkan namun juga tidak dilarang. Sebagai contoh, Seorang muslim barangkali menyukai jenis makanan halal tertentu dibidang makanan halal yang lain, Atau seorang muslim mungkin suka berkebun.
4.      Makruh menunjukkan tindakan yang tidak sepenuhnya dilarang, namun dibenci oleh Allah. Tingkatan makruh lebih kurang dibanding haram, dan hukumannya jika lebih kurang dibanding hukuman haram, kecuali jika dilakukan secara berlebihan dan dengan cara yang cenderung membawa kepada yang haram. Sebagai contoh, meskipun merokok tidak dilarang sebagaimana meminum alkohol, merokok merupakan tindakan makruh.
5.      Haram menunjukan tindakan yang berdosa dan dilarang. Berbuat sesuatu yang haram adalah sebuah dosa besar, misalnya membunuh, berzina dan meminum alkohol. Tindakan seperti ini cenderung akan mendatangkan hukuman dari Allah SWT baik di Akherat maupun secara legal di dunia ini.

Batas-batas antara kelima kategori yang telah disebutkan di atas bersifat absolut. Sebagai contoh, apa yang haram dalam satu kondisi mungkin boleh dilakukan dalam kondisi yang lain. Seorang muslim tidak boleh makan daging babi. Namun demikian, jika ia dalam kondisi menghadapi maut karena kelaparan, dan tidak ada yang lain kecuali daging babi, maka diperbolehkan untuk memakan daging babi dalam situasi khusus tersebut.
Tabel dibawah ini merangkum prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan persoalan halal dan haram seperti dipaparkan oleh Yusuf al-Qardhawi. Berdasarkan kategori di atas dan prinsip keempat dan kelima, atauran yang pertama adalah bahwa apa yang halal adalah juga pasti bermanfaat dan suci. Sementara apa yang tidak halal akan melukai kita. Sebagai conatoh, Islam telah lama melarang kaum muslim untuk meminum alkohol. Baru-baru ini terdapat studi mengenai kelahiran anak yang menunjukkan bahwa berapapun banyaknya alkohol yang dikonsumsi oleh seorang wanita selama masa kehamilan dapat mempengaruhi sang anak dalam kandungannya, dan akan mengakibatkan sindrom alkohol bagi janin ataupun hambatan perkembangan mental. Secara implisit, apa yang halal adalah juga bermoral dan apa yang tidak halal adalah tidak bermoral. Sebagai contoh, perzinaan adalah perbuatan yang tidak halal dan juga tidak bermoral. Aturan yang kedua adalah bahwa apa yang akan membawa tindakan yang tidak halal adalah juga tidak halal. Karenanya, pornogarfi adalah tidak halal dan juga tidak bermoral karena dapat membawa kepada perzinaan.
            Dalam memetakan perilaku etis seseorang, sangatlah penting bagi kaum muslim baik untuk menghindari hal-hal yang tidak halal dan juga untuk menghindari hal-hal yang tidak halal menjadi sesuatu yang halal. Allah SWT berfirman:

Katakanlah: Terangkanlah kepadaku mengenai rezeki yang diturunkan Allah SWT kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagaian halal. Katakanlah: Apakah Allah SWT telah memberikan izin kepadamu mengenai hal ini ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah SWT QS. Yunus (10);59.

Hal yang sebaliknya juga berlaku sama. Kaum muslim tidak boleh mengharamkan apa yang menurut Allah SWT halal. Sebagai contoh, kerbau barangkali merupakan spesies yang mulai langka. Seseorang mungkin akan berhenti memburunya agar spesies ini berkembang kembali, namun ia tidak dapat menyatakan bahwa memakan daging kerbau atau memperdagangkan kulit kerbau adalah dilarang.
 
 
    TABEL 1
Prinsip-prinsip Islam mengenai Halal dan Haram
  1. Prinsip dasarnya adalah diperbolehkan segala sesuatu.
  2. Untuk membuat absah dan melarang adalah hak Allah semata.
  3. Melarang yang Halal dan membolehkan yang Haram sama dengan syirik.
  4. Larangan atas segala sesuatu didasarkan atas sifat najis dan melukai.
  5. Apa yang halal adalah yang diperbolehkan, dan yang Haram adalah yang dilarang.
  6. Apa yang mendorong pada yang haram adalah juga haram.
  7. Menganggap yang haram sebagai halal adalah dilarang.
  8. Niat yang baik tidak membuat yang haram bisa diterima.
  9. Hal-hal yang meragukan sebaiknya dihindari.
  10. Yang haram terlarang bagi siapapun.
  11. Keharusan menentukan adanya pengecualian.



Kamis, 03 Januari 2013

Bagaimana Cara Berbisnis Nabi Muhammad SAW.?


Menurut etika bisnis Islam, setiap pelaku bisnis (pengusaha) dalam berdagang atau menjalankan usahanya, hendaknya tidak semata-mata bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, yang paling penting adalah mencari keridhoan dan mencapai keberkahan atas rezeki yang diberikan Allah SWT. Hakikat keberkahan usaha tersebut adalah kemantapan dari usaha yang  dilakukan seorang pengusaha dalam bentuk memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai Allah SWT. Untuk memperoleh keberkahan dalam jual beli, Islam mengajarkan prinsip-prinsip etis sebagaimana yang diajarkan Rasulullah (Faisal, 2009).

Sangat banyak petunjuk mengenai etika bisnis yang diajarkan Rasulullah SAW. Setidaknya penulis mengompilasi sebanyak dua puluh poin, yang diinspirasi dari lima poin tulisan Badrudin (2001:167-172) yaitu sebagai berikut  :

1.      Kejujuran

Dalam hal ini, pedagang atau pengusaha tidak diperbolehkan menyembunyikan kecacataan barang. Jika hal tersebut disembunyikan, keberkahan jual beli akan hilang. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda, "Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu barang yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya" (HR Al-Quzwani). Dalam hadist lain pun bersabda, "Siapa yang menipu kami, dia bukan kelompok kami" (HR Muslim). Rasulullah selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang  busuk di bagian bawah dan barang baru di atas. Selanjutnya, Ibnu Umar menurut riwayat Bukhori, memberitakan bahwa seorang lelaki menceritakan kepada Nabi SAW bahwa ia tertipu dalam jual beli. Kemudian Nabi SAW bersabda, "Apabila engkau berjual beli, katakanlah, ‘tidak ada tipuan’."

2.      Pencatatan utang  piutang

Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam hubungan tersebut, Alqur’an mengajarkan pencatatan utang piutang yang berguna untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu waktu lupa atau khilaf  :  "Hai orang-orang yang beriman, kalau kalian berutang-piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian tuliskan. Dan seorang penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana telah diajarkan oleh Allah kepadanya." (QS al-Baqarah [2]  :  282)

3.      Signifikansi sosial kegiatan bisnis

Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi  kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnisnya. Dengan tegas dapat dikatakan bahwa berbisnis bukanlah mencari keuntungan material semata, tetapi juga -harus didasari atas kesadaran- memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.

Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah.

4.      Tidak melakukan sumpah palsu

ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan pembelinya dengan jalan bersumpah agar dagangannya laris. Nabi Muhammad SAW sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnisnya. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhori, ia bersabda,  "Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah." Dalam hadist riwayat Abu Zar, Rasulullah SAW mengancam orang yang bersumpah palsu dalam bisnis dengan azab yang pedih, dan Allah tidak akan memedulikannya di hari kiamat nanti (HR Muslim). Praktik sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini, sering dilakukan karena dianggap dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya akan meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari bahwa dalam keuntungan yang berlimpah tersebut, keberkahan tidak akan menyertainya.

5.      Sikap longgar, ramah-tamah, dan murah hati

seorang pelaku bisnis harus bersifat longgar, ramah dan murah hati dalam melakukan bisnisnya. Hal itu selaras dengan sabda Rasulullah, "Allah mengasihi orang yang bermurah hati saat menjual, membeli, dan menagih utang" (HR Bukhari). Kemudian dalam hadits lain, Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah bersabda, "Ada seorang pedagang yang memiutangi orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang ditagih itu dalam kesempitan, dia diperintahkan kepada pembantu-pembantunya, ‘Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah memberikan kelapangan kepada kita’. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya." Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun mengatakan, "Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis" (HR Bukhari dan Tarmizi).

6.      Tidak menjelekkan bisnis orang lain

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Janganlah seseorang diantara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain" (HR Muttafaq ‘alaih).

7.      Jujur dalam takaran dan timbangan

Allah berfirman dalam surah al-Muthafifin (83) ayat 1-3, yang artinya sebagai  berikut  :

"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi."

Berdasarkan ayat tersebut, dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan.

8.      Islam tidak mengenal persaingan bisnis, teapi mengenal bersinergi

Dalam hal ini, kegiatan bisnis seorang pengusaha dengan pengusaha lainnya harus saling menguntungkan, atau dengan perkataan lain dilarang menyaingi kawan bisnis. Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah, "Janganlah kamu menjual dengan menyaingi dagangan saudaramu" (HR Muttafaq ‘alaih).

9.      Bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah

Hal ini sesuai dengan firman Allah, "Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, serta dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan pelihatan menjadi goncang."

10.  Pembayaran upah sebelum keringat karyawan kering

Nabi Muhammad SAW bersabda, "berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya." Hadits ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus  sesuai dengan kerja yang dilakukan. 

11.  Tidak memonopoli bisnis

Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh sederhana  :  eksploitasi (penguasaan ) individu tertentu atas hak milik  sosial, seperti  :  air, udara, dan tanah, serta kandungan isinya, seperti  :  barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Hal seperti itu dilarang dalam etika bisnis Islam (Abdul, 1992).

12.  Tidak melakukan bisnis dalam kondisi berbahaya (mudarat)

Dalam hal ini, seorang pedagang atau pengusaha dilarang berbisnis dalam keadaan yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Contoh  :  larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi kekacauan politik dan larangan menjual barang halal, seperti anggur kepada produsenminuman keras karena diduga keras, ia akan mengolahnya menjadi miras.

13.  Anjuran berzakat

Setiap pengusaha dianjurkan untuk menghitung  dan mengeluarkan zakat barang dagangan setiap tahun sebanyak 2,5%  sebagai salah satu cara untuk membersihkan harta yang diperoleh dari hasil usaha.

14.  Hanya menjual barang yang halal

Dalam salah satu hadits, Nabi SAW menyatakan bahwa jika Allah mengharamkan sesuatu barang, haram pula harganya (diperjualbelikan). Oleh karena itu, dalam berbisnis, pengusaha diwajibkan untuk menjual komoditas yang suci dan halal, bukan barang haram, seperti  :  babi, anjing, minuman keras, dan ekstasi. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan ‘patung-patung’"     (HR Jabir).

15.  Segera melunasi utang

Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan utangnya dengan sabda, "Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling segera membayar hutangnya"  (HR Hakim)

16.  Pemberian tenggang waktu apabila pengutang belum mampu membayar

Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar utang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya" (HR Muslim)

17.  Larangan riba

Bisnis yang dilaksanakan harus bersih dari unsur riba, sebagaimana Allah telah berfirman, "Allah menghapuskan riba dan menyempurnakan kebaikan sedekah. Dan Allah tidak suka kepada orang yang tetap membangkang dalam bergelimang dosa". Dalam firman Allah yang lain, yaitu dalam surat al-Baqarah [2] : 278, yang artinya  :

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman".

Selanjutnya, Allah menilai bahwa pelaku dan pemakan adalah orang yang kesetanan. Oleh karena itu, Allah dan Rasul mengumumkan perang  terhadap riba. Berikut ini firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) ayat 275, yang artinya  : 

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."