Selasa, 30 April 2013

Ijtihad Ekonomi Islam

Sudah beberapa kali dalam beberapa diskusi tentang kecenderungan operasional dan produk perbankan syariah yang semakin jauh dari jati diri ekonomi Islam, kita harus berhadapan dengan argumentasi klasik “ijtihad itu meskipun salah tetap akan mendapat satu kebaikan”. Argumentasi ini seakan dijadikan alasan ampuh bagi mereka yang bersemangat melakukan terobosan-terobosan operasional dan produk perbankan syariah. Padahal terobosan yang dilakukan terkesan mengabaikan kemashlahatan system.

Tetapi dengan kecenderungan perkembangan bentuk aplikasi khususnya produk perbankan syariah yang semakin identik dengan produk perbankan konvensional. Tentu argumentasi dasar ijtihad tadi menjadi “mengganggu”, entah ada yang salah dalam penggunaannya atau karena banyak yang belum begitu dalam pemahaman dari maksud sesungguhnya dari dalil itu. Karena itu pulalah, kita jadi tertarik untuk mengetahui lebih dalam makna dalil itu serta bagaimana sepatutnya dalil itu digunakan.

Pertama kali yang tentu perlu diketahui adalah makna kata dari ijtihad. Dari beberapa literature disebutkan bahwa ijtihad akar katanya memiliki tiga huruf (jahada) yang dalam bentuk masdarnya menjadi jahdun dan juhdun. Ulama ada yang berpendapat keduanya memiliki makna yang sama yaitu kemampuan, tetapi ada pula ulama yang mengartikan berbeda, yaitu al jahd itu sebagai “mengerahkan segala kemampuan” dan al juhd sebagai “kesulitan”.

Tetapi jika di teliti lebih jauh sebenarnya pembagian makna al jahd dan al juhd ini memiliki kesamaan maksud, dimana keduanya dapat dikatakan saling melengkapi. Dengan demikian dapat dikatakan kedua akar kata itu menghimpun makna; mengerahkan segala kemampuan dalam menghadapi kesulitan. Tidak heran jika seorang ulama bernama Raghib Al Isfahani mendefinisikan kata ijtihad dengan menggabungkan makna dua akar kata diatas yang memiliki inti substansi yang sama; ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh yang mengerahkan segala kemampuan dengan menanggung semua kesulitan yang ada di dalamnya.

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa ranah dan penggunaan ijtihad menyebar diberbagai aspek kehidupan, seperti politik, hukum, social-budaya dan juga ekonomi. Khusus untuk ekonomi (Islam), ijtihad harus diakui memiliki peran yang sangat krusial. Dengan perkembangan ekonomi yang semakin kompleks, sofistikasi produk dan transaksi, dimana perkembangan dan sofistikasi tersebut secara teknis tidak sama dengan apa yang dilakukan pada masa Nabi dan Sahabat, maka hal ini membuat ijtihad menjadi satu kebutuhan yang sangat penting. Posisi ijtihad juga menjadi sentral. Oleh sebab itu, ketepatan melakukan dan kebenarannya hasil menjadi satu hal yang juga krusial.

Dengan perkembangan mutakhir dari ekonomi khususnya di sector keuangan syariah, peran ijtihad menjadi semakin sentral. Karena hampir disetiap pengembangan keuangan syariah, baik itu operasional maupun produk, selalu bersentuhan dan di-back up dengan ijtihad. Ijtihadlah yang menjadi factor yang sangat menentukan untuk menjaga orisinalitas praktek keuangan syariah agar aplikasinya selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam. Ijtihad yang benar, tentu mampu memelihara karakteristik unik keuangan syariah. Terlebih lagi, ketika saat ini keuangan syariah dipraktekkan berdampingan dengan keuangan konvensional dan pelakunya mayoritas masih berlatar belakang pendidikan (pengetahuan, keahlian dan pola pikir konvensional.

Atas alasan ini, kita biasanya menilai ijtihad menjadi sangat penting untuk diketahui nature-nya, seperti kapan secara tepat melakukannya, bagaimana menggunakannya, proses mendapatkannya, atau siapa yang patut melakukannya. Dalam pengembangan system keuangan syariah, ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ketika memang tidak ditemukan dalil pelarangan dari suatu muamalah, yang perlu diyakinkan apakah memang tidak ada dalil yang melarang atau pengetahuan yang terbatas sehingga tidak mampu memahami subtansi masalah sehingga akhirnya sampai pada proses ijtihad yang berkesimpulan “boleh”.

Berbeda dengan ijtihad menentukan kehalalan suatu makanan, ijtihad praktek keuangan syariah memiliki alat control dalam menilai ketepatan ijtihad tersebut. Apa alat kontrolnya? Yang kita yakini, alat control utamanya adalah implikasi praktek tersebut. Implikasi ekonomi tentu mudah diketahui menggunakan logika sebab-akibat. Praktek keuangan syariah adalah bagian dari ekonomi yang memang pada dasarnya adalah alur transmisi sebab-akibat. Sehingga kebenaran dan ketepatan ijtihad menjadi relative mudah dikenali atau setidaknya memiliki banyak alat ukurnya. Oleh karenanya, ditengah kondisi pengetahuan ekonomi dan fikih yang belum melebur secara baik di diri seorang pakar atau ulama saat ini, maka ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah, sepatutnya dilakukan secara kolektif oleh dua pemegang disiplin ilmu tersebut.

Nah, berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa hal krusial yang menurut kita menjadi penting untuk dipahami. Ketika kaidah muamalah Islam (termasuk didalamnya keuangan syariah) menyebutkan bahwa “pada dasarnya semua muamalah itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, maka dalam muamalah Islam pertanyaan yang relevan terhadap suatu aktifitas ekonomi apakah ia boleh atau tidak boleh adalah “apakah ada dalil yang melarang”. Berbeda dengan ibadah, dimana pertanyaan yang relevan adalah “apakah ada dalil yang membolehkan”, mengingat muamalah dan ibadah memiliki dua kaidah yang bertolak belakang.

Oleh sebab itu, maka mengklasifikasikan sebuah praktek muamalah itu boleh atau tidak boleh (sekali lagi) sangat ditentukan oleh kedalaman pemahaman dan pengetahuan seseorang (yang diamanahi tugas mengeluarkan fatwa/berijtihad) terhadap dalil-dalil pelarangan bermuamalah. Ketika pengetahuan dan pemahamannya tidak begitu luas dan dalam, maka boleh jadi seseorang akan overlook dalam mengambil kesimpulan atas sebuah masalah. Dan kita meyakini bahwa hal terpenting dari pengetahuan dan pemahaman yang dalam itu adalah sebuah hasil analisa atau kesimpulan yang berdasar pada pemahaman utuh atau pengetahuan substansi/esensi/hakikat masalah.

Selain itu, ijtihad yang dilakukan seseorang untuk kepentingan pribadi dirinya mungkin tidak akan menjadi masalah yang terlalu krusial dibandingkan ijtihad yang ditujukan untuk kepentingan umum, kepentingan masyarakat luas. Oleh sebab itu ijtihad dibidang keuangan (termasuk ekonomi) syariah harus disikapi dengan berhati-hati, dengan sensitifitas yang tinggi, mengingat ijtihad (yang berakhir pada perumusan fatwa) dibidang itu mempertaruhkan kepentingan umum. Kaidah bahwa “ijtihad itu meskipun salah tetap akan mendapat satu kebaikan” tidak dapat dengan serampangan dipakai dengan konotasi menganggap ringan semua masalah. Kaidah ini tidak bisa dengan seenaknya dijadikan dalih untuk mengeluarkan fatwa tanpa perhitungan yang matang, tanpa landasan yang kuat.

Ingat!!! Dalam praktek keuangan syariah, ijtihad yang salah dan berakhir pada fatwa yang keliru akan berimplikasi pada kerusakan system keuangan bahkan kekacauan ekonomi yang berakibat buruk bagi banyak orang. Tidak cukup hanya mengatakan bahwa kalau ijtihadnya keliru, maka ada satu kebaikan yang diberikan oleh Allah SWT. Ijtihad harus dilakukan dalam ruang usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal, sesuai dengan definisi ijtihad itu sendiri.

Ditengah kondisi wujudnya dikotomi pengetahuan fikih dan praktek keuangan (karena keilmuan keuangan syariah relative baru, sehingga memang ahli fikih masih terbatas pengetahuannya pada aspek ekonomi/keuangan dan praktisi keuangan belum memiliki pengetahuan fikih dengan baik), maka menjadi sangat wajar apabila sebuah ijtihad dalam rangka mendapatkan fatwa, mempertimbangkan dua sudut pandang pengetahuan tadi.

Artinya ijtihad harus dilakukan bersama, fatwa harus mendengarkan dan mempertimbangkan kedua sudut pandang, baik alasan fikih maupun alasan keuangan termasuk ekonomi, agar mendapatkan gambaran utuh dan menyeluruh terhadap suatu masalah. Bagaimana bisa menerima ijtihad yang berasal dari seseorang yang tidak mengetahui dengan benar masalah yang menjadi objek ijtihadnya. Apalagi dalam bidang keuangan syariah atau perbankan syariah. Ijtihad terhadap produk keuangan/perbankan syariah, haruslah didasari atas pemahaman mendalam terhadap produk tersebut, memahami mekanismenya juga implikasi-implikasinya.


Jika hanya mengakomodasi satu pihak saja tentu akan misleading dalam menyimpulkan sebuah permasalahan yang tengah diijtihadkan. Apalagi dalam ranah fikih, pada perkembangannya terdapat kekayaan pendapat, sampai-sampai sudah ada anggapan bahwa fikih menyediakan semua dalil dari halal sampai haram untuk satu jenis aktifitas tertentu. Kondisi seperti itu membuat praktek keuangan syariah memiliki risiko yang sangat besar dalam ketidaktepatan memilih dalil. Sehingga, dalam proses ijtihad dalam rangka mendapatkan fatwa, ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah membutuhkan alat bantu lain atau alat control agar pemilihan dalil betul-betul tepat dan benar. Dan sejauh ini, kita masih meyakini alat bantu atau control yang relevan adalah pengetahuan ekonomi atau keuangan.

Dilain pihak, Jangan sampai pula ketidak-tahuan atau ketidak-dalaman pengetahuan pada Qur’an dan Sunnah khususnya pada prinsip-prinsip pelarangan muamalah atau wawasan yang lain, menjadikan ijtihad sebagai dalih untuk membenarkan apa-apa yang substansinya dilarang oleh Islam. Padahal dalil pelarangannya sudah ada dan jelas, namun karena ketidaktahuan saja membuat seseorang melakukan ijtihad. Bayangkan apa akibatnya satu ijtihad yang hanya berdasar pada pengetahuan yang terbatas. Terlebih lagi di ranah ekonomi.

Betul bahwa kaidah fiqih muamalah “dalam muamalah semua itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, memang akan membuat pelaku muamalah memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam berkreasi muamalah. Namun sebelumnya haruslah setiap orang yang memiliki amanah mengeluarkan fatwa, menjaga kedalaman pemahaman agar kreasi muamalah betul-betul berlandaskan pada pengetahuan yang cukup.

Jangan sampai kaidah tersebut tidak membuat pelaku buta matanya terhadap hakikat-hakikat transaksi. Atau malah dijadikan alat untuk seenaknya melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa. Kehati-hatian menjadi penting, ingat banyak orang yang kemashlahatannya bergantung pada fatwa tersebut. Ketidak tahuan atau pengetahuan yang tidak mendalam pada dalil-dalil pelarangan bentuk-bentuk transaksi dapat saja membuat pelaku terjebak pada transaksi sejenis itu. Oleh sebab itu, sikap kehati-hatian, meluaskan sudut pandang, melibatkan banyak perspektif sepatutnya menjadi upaya mitigasi dalam rangka mendapatkan hasil ijtihad yang maksimal, hasil yang sejalan dengan semangat ekonomi Islam, hasil yang penuh berkah dan kebaikan-kebaikan.

Dan terlepas dari itu semua, ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah juga sangat dipengaruhi oleh tingkat interaksi, sensitifitas social, tingkat kesadaran dan pengetahuan para pihak-pihak dalam sebuah komunitas ekonomi, seperti otoritas fatwa, otoritas industry, akademisi dan masyarakat itu sendiri. Kalaupun akhirnya semua upaya telah dilakukan secara maksimal dalam mendapatkan sebuah fatwa dari ijtihad ekonomi, dan ternyata hal itu mengandung kelemahan-kelemahan, boleh jadi fatwa tersebut merepresentasikan kualitas komunitas ekonomi tersebut. Kalau sudah seperti itu, kita berharap Tuhan segera memberikan hidayah, petunjuk dan pengetahuan-Nya, agar kebenaran tetap terjaga dan memberikan manfaat seperti yang diperjuangkan dan diharapkan hamba-hamba-Nya. Wallahu a’lam bishawab.

Prinsip Ekonomi Islam Utamakan Moral dan Etika dalam Berbisnis

Sistem ekonomi kapitalis yang dianut sebagian besar negara di dunia dipercaya sebagai salah satu penyebab paling dominan terjadinya krisis ekonomi global. Kapitalisme yang hanya berorientasi pada pasar dan keuntungan tidak menerapkan sistem moral dalam menjalankan praktik bisnisnya. Hal inilah yang menyebabkan hancurnya perekonomian sejumlah negara dan maraknya pelaku bunuh diri akibat tanggungan kerugian yang begitu besar. 


Dr. Phil Peter Schmiedel saat memaparkan materinya mengatakan, nilai-nilai Islam dapat diterapkan ke seluruh dunia agar tercipta ekonomi yang bermoral dan berkeadilan. Perbincangan mengenai perlunya sistem moral dan etika dalam berbisnis itu
dibahas dalam Seminar dan Lokakarya “Sharia Economics” dengan tema “Economic and Business Ethnic in Islam and Western Civilization: Contribution to Global
Business Governance After Crisis”.


Kegiatan yang digagas Pusat Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi (FE) Unpad tersebut berlangsung Rabu (2/09) di Ruang Multimedia FE Unpad dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai instansi. “Penelitian yang dilakukan Jeffrey Seglin dalam artikelnya berjudul Do It Right  pada November 2001 menyebutkan bahwa perusahaan yang mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis lebih berhasil dibanding perusahaan yang hanya mengejar profit. Dari penelitian tersebut jelas bahwa etika dalam melakukan kegiatan ekonomi harus menjadi suatu kebutuhan,” ungkap salah satu pembicara, Yunizar, Ph.D. yang juga merupakan dosen FE Unpad.

Ia menyebut bahwa selama abad 20, tidak kurang dari 32 krisis ekonomi global melanda dunia. Menurutnya, krisis ekonomi global yang melanda dunia sangat dimungkinkan oleh praktik-praktik bisnis yang tidak mengedepankan moral sebagai sistem nilai. “Dengan kata lain, krisis yang terjadi lebih disebabkan semakin jauhnya praktik-praktik bisnis dari nilai dan aturan Ilahi,” tuturnya. Dalam paparannya berjudul “Relevansi Etika Bisnis dalam Bisnis Global: Perspektif Islam”, Yunizar, Ph.D. mengungkapkan bahwa pentingnya etika dalam berbisnis semakin meluas sebagai respon terhadap gelombang skandal korporasi dari tahun 1980 hingga sekarang. “Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan tuntunan dalam bermualamah atau berbisnis. Tuntutan tersebut diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam setiap aspek kehidupan,” kata Yunizar, Ph.D. 
Ia mengungkapkan empat prinsip berbisnis yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah mendapatkan penghasilan halal dengan usaha sendiri. Prinsip kedua adalah tidak berbisnis barang dan perdagangan yang terlarang, prinsip ketiga adalah selalu bersikap baik dalam hubungan dagang, dan prinsip keempat adalah adanya persetujuan antara pembeli dan pedagang.

Bukan Meng-Islamkan

Pengamat ekonomi asal Jerman,  mengungkapkan bahwa diterapkannya prinsip ekonomi Islam yang bermoral dan beretika dalam berbisnis bukan berarti meng-Islamkan dunia. Menurutnya, digunakannya ekonomi Islam hanya untuk mengeneralisasikan nilai etika dan norma objektif dalam Islam. “Saya tidak menyebut bahwa dengan ekonomi Islam berarti membuat semua orang di dunia memeluk agama Islam. Yang saya maksud adalah nilai-nilai Islam dapat diambil oleh semua orang, sehingga menghasilkan kehidupan ekonomi yang bermoral dan berkeadilan,” ungkap Dr. Peter yang merupakan non-muslim.

Sementara itu, pembicara lainnya, Izzuddin Abdul Manaf, Lc. MA. menilai bahwa sistem ekonomi yang berlandaskan Islam sangat minim risiko dibanding sistem ekonomi konvensional. Hal tersebut, kata Izzuddin, dikarenakan dalam Islam diterapkan sejumlah hukum dan ketentuan yang tidak dimiliki dalam sistem ekonomi konvensional. “Misalnya tidak menjual sesuatu yang belum ada dalam penguasaan atau sesuatu yang tidak dimiliki,” lanjut Izzuddin yang juga dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Sebi, Ciputat.

Rabu, 03 April 2013

Kedudukan Harta dalam Islam

A.     Pengertian Harta
Istilah Harta atau al-mal dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang. Kriteria harta menurut para ahli fiqih terdiri atas: pertama, memiliki unsure nilai ekonomis. Kedua, unsur manfaat atau jasa diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/adat) yang berlaku di masyarakat. As-Syuti berpendapat bahwa istilah Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi baik yang merusak maupun melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungnya status al-Mal terletak pada nilai ekonomis suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya nilai ekonomis dalam harta tergantung pada besar kecilnya manfaat suatu barang. Faktor manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai ekonomis ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari semua jenis harta.
B.     Pandangan Islam Mengenai Harta
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (QS al-Hadiid: 7).
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
”Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk dipergunakan”.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
1.      Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2.      Harta sebagai perhiasan perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan (Al-Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabakan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri (Al-Alaq: 6-7)
3.      Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (Al-Anfal: 28)
4.      Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah bagi  antar sesama manusia, malaui zakat, infak, dan sedekah (At-Taubah: 41, 60: Al Imran: 133-134)
Ketiga, pemilikan narta dapat dilakukan melalui usaha atau mata pencarian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya (Al-Baqarah: 267)
”Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yng bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah” (HR Ahmad).
”Mencari rezeki adalah wajib setelah kewajiban yang lain” (HR Thabrani)
”Jika telah melakukan sholat shubuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezeki” (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur: 1-2), melupakan Zikrullah/mengingat Allah (al-Munafiqun: 9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang saja (al-Hasyr: 7).
Kelima, dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, jual beli barang yang haram, mencuri, merampok, curang dalam takaran dan timbangan, dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad)
2.     Harta yang Halal dan Haram
Isu yang sedang hangat sekarang ini adalah korupsi. Korupsi  terjadi di samping karena sifat serakah dan keinginan hidup bermewah-mewah adalah karena umat manusia telah melupakan  halal dan haram. Hal itu sebenarnya manusiawi saja karena tak ada orang yang ingin hidup miskin, akan tetapi manusia hidup harus punya aturan agar bumi jadi seimbang dan kehidupan manusia aman dan tentram. Oleh sebab itulah Allah mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan hukum dan aturan langit lewat kitab-kitab-Nya yang diwahyukan melalui Nabi dan Rasul untuk disampaikan kepada umat manusia. Dalam hal harta ini agama Islam memnbedakan nya ke dalam dua jenis, yaitu harta halal dan haram.
a.       Harta Halal
Harta halal adalah harta yang diperbolehkan oleh Allah untuk di manfaatkan oleh manusia sebagaimana yang telah diterangkan melalui rasul kepada kita umatnya. Kehalalan harta benda dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi zatnya dan dari sisi cara mendapatkannya.
Harta yang halal karena zatnya adalah meliputi segala jenis makanan dan minuman yang terdapat di dunia ini, kecuali yang telah dijelaskan keharamannya, jadi asalnya semua makanan itu halal kecuali ada dalil baik Al-qur’an ataupun hadits yang sahih yang melarangnya. Dalam surat Al-Maidah ayat 1 Allah berfirman:
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu”
Kemudian dalam ayat 4 surat yang sama Allah berfirman, ”Mereka menanyakan kepadamu, Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, dihalalkan bagimu yang baik-baik”
Kemudian harta yang halal bila di lihat dari cara mendapatkannya, adalah segala suatu yang diperoleh dengan jalan yang diperbolehkan oleh hukum Allah, seperti:
·        Harta yang diperoleh dari warisan
·        Harta yang diperolah melalui zakat
·        Harta terpendam (Harta Karun)
·        Dan lain-lain seperti upah atau gaji
b.      Harta Haram
Yang dimaksud dengan harta haram adalah segala seuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul bagi manusia. Harta haram ternagi 2 macam, yaitu haram karena zatnya dan haram karena cara mendapatkannya.
Harta yang haram karena zatnya antara lain Khamar (makanan atau minuman yang dapat memabukkan atau merusak fikiran), Babi, Bangkai, darah, binatang buas, dll
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) Khamar, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (Q.S Al-Maidah:90)
Sedangkan mengenai binatang buas diterapkan dalam hadis berikut ini:
”memakan semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang bercakar adalah haram (H.R Muslim)
Sedangkan harta yang haram karena cara mendapatkannya adalah setiap harta yang diperoleh dengan jalan yang batil seperti penipuan, pencurian (termasuk korupsi), hasil riba, dan hasil riswah (suap).
Khusus untuk korupsi terkadang orang memandang bahwa hal itu bukan maling sehingga terkesan mereka tidak malu walaupun ketahuan. Padahal korupsi itu lebih kotor dari pada maling, dan lebih jahat dari merampok.
3.     Cara-Cara Memperoleh Harta yang Halal
Liku-liku kehidupan tak dikalkulasi dengan hitungan. Negeri yang sedemikian makmurnya ini, terancam kekurangan sandang, pangan dan papan. Kegoncangan melanda di mana-mana. Kegelisahan menjadi selimut kehidupan yang tidak bisa ditinggalkan. Begitulah kalau krisis ekonomi sudah memakan korban.
Seakan manusia telah lalai, bahwa segala yang terhampar di jagad raya ini ada Dzat yang mengaturnya. Apakah mereka tidak ingat Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan tidaklah yang melata di muka bumi ini melainkan Allahlah yang memberi rezekinya” (QS. Hud: 6)
Keyakinan yang mantap hádala bekal utama dalam menjalani asbab (usaha) mencari rezeki. Ar Rahman yang menjadikan dunia ini sebagai negeri imitan (ujian), telah memberikan jalan keluar terhadap problem yang dihadapi manusia, diantaranya:
  1. Berusaha dan Bekerja
Sudah merypakan sunatullah seseorang ingin mendapatkan limpahan rezeki Allah harus berusaha dan bekerja. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Kalau telah ditunaikan salta Jum’at maka bertebaranlah di muka bumi dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kalian bajía” (QS. Al- Jumu’ah: 10)
Rezeki Allah itu harus diusahakan dan dicari. Tapi, Madang-kadang karena gengsi, sombong dan harga diri seseorang enggan bekerja. Padahal mulia tidaknya suatu pekerjaan itu dilihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram.
  1. Taqwa
Banyak orang melalaikan perkara ini, karena kesempitan hidup yang dialaminya. Dia mengabaikan perintah Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyatakan:
“Dan barang  siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberikan rezekinya kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangkanya”. (QS. Ath Thala: 2)
Yaitu dari jalan yang tidak diharapkan dan diangan-angankan, demikian komentar Catada, seorang tabi’in (Tafsir Ibnu Katsir 4/48). Lebih jelas lagi Syaikh Al Hilali mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi dan Agung memberitahukan, barang siapa yang bertaqwa lepada-Nya niscaya Dia akan memberikan jalan keluar terhadap problem yang dihadapinya dan dia akan terbebas dari mara bahaya dunia dan akhirat serta Allah akan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (Bahjatun Nadhirin 1/44).
  1. Tawakkal
Allah berfirman:
“Dan barang siapa yang bertawaqal lepada Allah niscaya Dia akan mencakupi (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq: 3)
Yakni “barang siapa yang menyerahkan urusannya lepada Allah niscaya Dia akan mencukupi apa yang dia inginkan,” demikian kata Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ Ahkamul Qur’an, 8/106
Dan tidak dinamakan tawakkal apabila tidak menjalani usa. Sesungguhnya menjalani usaha merupakan bagian dari tawakal itu sendiri. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim mengatakan: ”Tawakkal dan kecukupan(yang Allah janjikan) itu, bila tanpa menjalani asbab yang diperintahkan, merupakan kelemahan semata, sekalipun ada sedikit unsur tawakkalnya. Hal yang demikian itu merupakan tawakkal yang lemah. Maka dari itu tidak sepantasnya seorang hambamenjadikan sikap tawakkal itu lemah an tidak berbuat berusaha. Seharusnya dia menjadikan tawakkal tersebut bagian dari asbab yang diperintahkan untuk diperintahkan untuk dijalani, tidak akan sempurna makna tawakkal kecuali dengan itu semua” (Zadul Ma’ad 2/315). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meningatkan kita dalam riwayat yang shahih:
Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana burung diberi rezeki, pergi dipagi  hari dalam keadaan perut kosong, (dan) pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. An Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
  1. Syukur
Syukur hádala jalan lain yang Allah berikan lepada kaum mukminin dalam menghadapi kesulitan rezeki. Dalam surat Ibrohim ayat 7 Allah berfirman:
“Kalau seandainya kalian bersyukur, sungguh-sungguh Kami akan menambah untuk kalian (nikmat-Ku) dan jira kalian mengingkarinya, sesungguhnya adzab-Ku Sangay keras” (QS. Ibrohim:7)
Oleh karena itu dengan cara bersyukur Insta Allah akan mudah urusan rezeki kita. Adapun hakekat syukur hádala: “mengakui nikmat tersebut dari Dzat Yang Maha Memberi nikmat dan tidak mempergunakannya untuk selain ketaatan lepada-Nya”, begitu Al Imam Qurthubi menerangkan pada kita (tafsir Qurthubi 9/225)
  1. Berinfaq
Sebagian orang barangkali menyangka bagaimana mungkin berinfaq dapat mendatangkan rezeki dan karunia Allah, sebab dengan berinfak harta kita menjadi berkurang. Ketahuilah Dzat Yang Maha Memberi Rezeki telah berfirman:
“Dan apa-apa yang kalian infaqkan dari sebagian harta kalian, maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39)
  1. Silaturohmi
Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Barang siapa yang berkeinginan untuk dibentangkan rezeki baginya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturohmi.” (HR. Bukhori Muslim)
  1. Doa
Allah memberikan sensata yang ampuh bagi muslimin berupa doa. Dengan berdoa seorang muslim Insya Allah akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam menuntun kita agar kita berdoa tatkala kita menghadapi kesulitan rezeki.
”Ya Allah aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima.” (HR. Ibnu Majah dan yang selainnya)


4.     Kewajiban Terhadap Harta
Diantara semua agama yang ada di dunia ini, hanya Islamlah satu-satunya agama yang tidak memisahkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, sehingga ungkapan hikmah yang berbunyi, “ad-dunya mazra ‘atu al-akhirak” (duni hádala tempat bercocok tanam untuk kepentingan akhirat) Sangay popular di tengah-tengah muslim. Salah satu prinsip Islam dalam kehidupan duniawi ahíla tentang kewajiban manusia terhadap harta benda.
Harta atau kebendaan yang dimaksud di sini hádala semua jenis benda dan barang untuk bekal hidup manusia, seperti pangan, sandang, papan, perhiasan dan sebagainya. Kewajiban manusia untuk menuntut dan mencari harta itu secara patut, berusaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh, dengan selalu mengharapkan ridho Allah SWT.
Tidak boleh seseorang mencari harta itu dengan menjadikan dirinya sebagai pengemis atau peminta-minta, kecuali jira ia sudah benar-benar tidak berdaya. Demikian pula Islam tidak memperbolehkan seseorang mencari dan mengumoulkan harta dengan penuh tipu daya, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, dengan cara yang tidak halal, dan sebagainya. Hikmah utama menjaga harga diri jangan samoai merendahkan derajat kemanusiaan, serta untuk memelihara jangan terjadi kerusakan dalam pergaulan manusia.
Orang yang mencari harta benda dengan cara penuh kecurangan itu hádala penipu. Orang yang mencari harta dengan mengandalkan meminta-minta itu hádala mengemis, berjudi, mencuri, riba (seperti rentenir, deposito) memeras atau pungutan liar, maka itu hádala pencuri, penjudi dan pemeras. Semua aktifitas menuntut harta seperti itu pada hakikatnya dapat menjatuhkan harga dirinya, sekaligus akan mendapat hukuman dari-Nya. Islam Sangay menghargai seseorang yang makan dan mencari harta dengan hasil kerjanya sendiri. Rasulullah SAW bersabda, “Tak da satupun makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang selain dari jerih payahnya” (Bukhari dan Ahmad).
Mencari rezeki dengan cara yang halal, meski hasilnya sedikit dan dipandang hina oleh orang lain, justru dalam pandangan Islam itu lebih baik. Mereka yang mencari rezeki dengan cara yang halal seperti pedagang apongan atau pedagang kaki lima, jauh lebih terhormat dalam pandangan Allah, dari pada mereka yang berdasi dan berjasbekerja di ruangan AC, tetapi mencari harta dengan cara melakukan penyimpangan dan kecurangan terhadap amanah yang dipercayakan kepadanya.
Rasulullah saw dalam sabdanya mengatakan, “Sesungguhnya akan lebih baik, bila seseorang diantaramu memasukkan tanah ke dalam mulutnya (makan tanah) dari pada ia memakan sesuatu yang diharamkan Allah”. (HR. Baihaqi).
Benar, tidak dijumpai satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang mencela kekayaan dan orang yang mencari kaya sesuai dengan syariat yang telah diturunkan lepada Nabi Muhammad SAW.
Yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an hádala celan terhadap kekayaan yang dipergunakan untuk mendurhakai Allah. Atau mencela si pengumpul kekayaan yang serakah, tapi menghiraukan kesengsaraan orang-orang di sekitarnya.
Harta dan juga keturunan (anak) aníllala sarana untuk mencapai keridhoan Allah, “Harta dan anak-anak hádala perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan ingá kekal lagi saleh ádalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi [18]: 46)
Karena itu jangan sampai harta serta anak menjadikan manusia lalai untuk ingat lepada Allah, “orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 9).
Selain itu, ajaran Islam juga tidak menyukai si pemilik modal besar menggunakan hartanya dengan penuh kesombongan untuk menindas si lemah. Orang yang terpuruk dalam destapa dan kesengsaraan hidup, memang mudah sekali terpancing untuk melepaskan hartanya.
Orang kaya selalu memanfaatkan kondisi orang yang tengah tertekan ekonominya untuk semakin memperkaya dirinya, misalnya dengan iming-iming ingin membantu lantas memaksa orang tersebut mensual tanhah yang dimilikinya.
Akan mendapat berkah dari Allah SWT yang Maha Pemberi Rezeki, orang-orang kaya yang tidak sombong, dan memanfaatkan sebagian hartanyauntuk kepentingan orang banyak dalam rangka mengharapkan keridhoan-Nya menuju hari perhitungan kelak.
Firman Allah SWT, Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang siapa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dial ah Pemberi Rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba [34]: 39).